12 Juta Orang Tak Punya Status Kewarganegaraan
30 Agustus 2011Sejak beberapa generasi, keluarga Issa Abdul Faraj tinggal di Kibera, yang terletak di pinggiran selatan Nairobi. Lebih dari 100 tahun lalu, kakeknya direkrut dari Sudan sebagai tentara Inggris dan ditempatkan di Kenya. Issa Abdul Faraj yang beretnis Nubia, sudah sejak lama hidup di Kenya tanpa mempunyai status kewarganegaraan. Setelah merdeka tahun 1963, Kenya tak mengakui etnis Nubia sebagai warga negaranya dan tak mau memberi dokumen identitas pada mereka. Hidup tanpa status kewarganegaraan merupakan hal terburuk yang dialami manusia, ujar Issa: „Di Kenya, bila tak punya surat identitas, maka Anda tidak diakui keberadaannya. Secara teori, tak bisa meninggalkan rumah, karena di luar rumah bisa ditanyai,'Mana keterangan tanda penduduk' Anda? Berada di jalan tanpa menggenggam kartu identitas adalah pelanggaran. Tapi kalau tak meninggalkan rumah, bagaimana kita bisa hidup? Bagaimana bisa bekerja? Anda tak bisa buka rekening di bank dan berbisnis. Tak punya hak. Anda tidak diakui!"
Di Kenya, seperti juga di Thailand, Nepal, Suriah dan Latvia, banyak orang hidup tanpa punya status kewarganegaraan. Badan PBB untuk pengungsi UNHCR memperkirakan terdapat sekitar 12 juta orang di seluruh dunia yang hidup tanpa memiliki kewarganegaraan. Bisa dibandingkan dengan orang berstatus pengungsi yang jumlahnya mencapai 15 juta orang. Orang-orang yang berstatus pengungsi bisa memperoleh bantuan internasional. Menurut Konvensi Pengungsi di Jenewa yang telah diratifikasi banyak negara, seharusnya para pengungsi ini dilindungi. Orang tanpa status kewarganegaraan tidak punya perlindungan, ujar Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Erika Feller : „Mereka kerap tersembunyi. Mereka tidak diakui sebagai anggota penuh masyarakat dimana mereka tinggal. Mereka tak terlihat dan tak tertera dalam daftar prioritas negara.“
Orang-orang tanpa status warga negara hidup dalam zona hukum abu-abu. Negara tak melindungi mereka. Sebagai non – warga negara, di mana mereka hidup, banyak rintangan besar ditemui. Tak dapat tinggal secara legal, bepergian, bekerja maupun memperoleh layanan kesehatan.
Penyebab umum adanya status tanpa kewarganegaraan ini adalah terjadinya disintegrasi negara atau juga pembentukan negara baru. Banyak orang kehilangan kewarganeraan karena kekerasan yang dilakukan negara ataupun diskriminasi. Keterbatasan yang dialami orang berstatus tersebut pun turun ke anak cucu mereka, ujar Marc Manly dari UNHCR: “Orang-orang ini mengakar di negara-negara tamu, entah sudah berpuluh atau beratus tahun. Dalam perjalanan waktu mereka mengembangkan strategi bertahan hidup pada tingkat minimum. Karena orang-orang tak kerkewarganegaraan ini, sejak awal, kehilangan kesempatan dan harapan untuk berbuat lebih jauh dalam memenuhi kebutuhan mereka.“
Berpuluh tahun lamanya, masyarakat internasional memandang fenomena orang tanpa kewarganegaraan sebagai sebuah masalah, yang akan hilang dengan sendirinya. PBB telah mengeluarkan dua konvensi, agar orang-orang tersebut dapat diterima di seluruh dunia. Namun sayangnya hanya 38 negara saja yang mengakui Konvensi Pengurangan Status Tanpa Kewarganegaraan. Konvensi tentang Hak-Hak Orang Tanpa Status Kewarganegaraan, yang mengatur hak minimum, pun hanya diratifikasi 66 negara. Erika Feller mengetahui resistensi terhadap konvensi-konvensi tersebut: „Kewarganegaraan menyentuh inti kedaulatan negara. Hal ini menyangkut kecemburuan. Apakah hak-hak Anda dipenuhi sebagai warga negara dan siapa yang boleh tinggal sebagai warga negara di wilayah tertentu.“
Memperingati 50 tahun Konvensi Pengurangan Status Tanpa kewarganegaraan, PBB memberi perhatian lebih pada problem ini. Masyarakat internasional harus memahami, bahwa masalah ini hanya dapat dihilangkan, lewat standar internasional yang diakui dan kerjasama lintas batas.
Claudia Witte / Ayu Purwaningsih
Editor : Hendra Pasuhuk