12 Tahun Reformasi
21 Mei 2010Reformasi di Indonesia dianggap berhasil mencatatkan kemajuan di berbagai bidang, seperti kebebasan sipil dan politik. Berbagai pihak berpendapat, buah reformasi juga terlihat antara lain dengan munculnya kebebasan pers, pemilu yang demokratis serta otonomi daerah. Tetapi aktivis gerakan mahasiswa, Muhaji, memandang, pencapaian-pencapaian itu tidak substansial. “Kalau ukuran-ukuran reformasi itu dipahami orang, semata-mata orang bisa berteriak, orang bisa berdemo, lalu apa gunanya perubahan itu sendiri. Kalau dulu ketakutan dengan media yang akan meliput demo, karena memang akan merusak citra diluar negeri, sekarang orang berdemo setiap kali, apakah ada tuntutan yang bisa dipenuhi? Artinya bahwa demokrasi secara kulit saja, secara luar memang ada, tapi substansi demokrasi secara ekonomi, politik dan sosial itu tidak nampak belum ada perubahan sama sekali”
Asmara Nababan dari Lembaga Studi Demokrasi dan HAM, juga mencatat, 12 tahun telah berlalu, namun reformasi masih gagal menghadirkan peradilan yang adil. Ini ditunjukan dengan kegagalan pemerintah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa orde baru. Termasuk kejahatan yang terjadi di seputar reformasi seperti seperti Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, dan kerusuhan Mei. “Paling utama adalah kepercayaan publik pada hukum. Ini yang paling krusial, karena kita tidak berhasil menyelesaikan berbagai persoalan hukum atau kejahatan masa lampau. Oleh karena itu, belum ada kepercayaan publik, bahwa sistem peradilan kita itu bisa memberi keadilan. Pemberantasan korupsi kita juga dilakukan hanya sebagai suatu efek demonstrasi.”
Selain sejumlah agenda seperti, pengadilan Soeharto, pemberantasan korupsi dan pencabutan dwifungsi ABRI, reformasi yang digulirkan mahasiswa tahun 1998 lalu, juga dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Artinya mewujudkan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Kenyataannya, kini jumlah warga miskin dan penganguran masih tetap tinggi. Pengamat politik Arbi Sanit menganggap gagalnya hal tersebut tak lepas dari kesalahan sistem politik indonesia. “Pertama, dari sistem partainya, yang tidak bisa membangun satu kekuatan yang diperlukan untuk membangun sistem permintahan yang stabil dan kuat. Karena sistem multipartai ini tidak bisa berkoalisi, koalisinya pun ad hoc, kemudian waktu partai-partai itu ikut pemilu maka penguasa atau pemimpin yang dihasilkannya adalah pengusa yang sangat personal. Oleh karena itu semuanya menjadi egois maka proses politiknya menjadi transaksional atau kartel seperti itu. Nah kalau itu yang terjadi mana mungkin aliran ekonomi itu ke bawah.”
Zaki Amrullah
Editor : Vidi Legowo-Zipperer