Mengenang 20 Tahun Meninggalnya Benny Moerdani
29 Agustus 2024Mungkinkah ini kebetulan belaka, saat kita mengenang 20 tahun kepergian Benny, bangsa kita juga sedang bersiap menyambut sosok pemimpin baru, yaitu Prabowo Subianto, yang kebetulan adalah junior (jauh) Benny di Korps Baret Merah (Kopassus), sebuah satuan yang sudah termasyhur sejak didirikan (April 1952).
Benny dan Prabowo memang sama-sama dibesarkan di Kopassus (RPKAD), namun konflik berlarut antara keduanya telah menjadi epik tersendiri, yang turut memberi warna dalam pasang-surut peran militer di tanah air. Pada suatu masa, sempat terjadi politisasi berlebihan pada konflik di antara keduanya, yakni saat menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2009.
Menjelang Pilpres 2009 terbit biografi Sintong Panjaitan (Akmil 1963), perwira yang dikenal dekat dengan Benny, yang kebetulan juga berasal dari Baret Merah, bahkan pernah menjabat Komandan Kopassus (Kopassandha 1985-1988).
Dalam biografi tersebut ada satu bab yang secara khusus membahas perilaku Prabowo saat masih menjadi Wakil Komandan Detasemen 81 Kopassus di awal 1980-an, Detasemen 81 sendiri kini lebih dikenal sebagai Satgultor 81.
Sementara yang menjadi atasan langsung Prabowo di Den 81, adalah Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970, lulusan terbaik), yang bersama Sintong Panjaitan, sejak lama dikenal sebagai anak-didik Benny Moerdani.
Dengan cara cukup jelas, biografi Sintong telah mendiskreditkan Prabowo, melalui Luhut sebagai narasumber.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Mudah ditebak, seolah ada skenario, biografi ini diterbitkan sebagai upaya menghambat laju Prabowo, yang saat maju sebagai Cawapres.
Kini Prabowo tinggal menunggu pelantikan, dan biografi Sintong sudah mulai dilupakan juga, selain narasinya sendiri memang sudah "hangus” mengingat realitas politik sudah banyak berubah.
Kedekatan dengan Bung Karno
Saat ditetapkan sebagai Pangab pada Maret 1983, publik masih bertanya-tanya, siapa ini Benny? Sebagai tipikal perwira intelijen sejati, wajar Benny kurang dikenal publik. Benny sebenarnya telah menjadi bintang berita sejak masih perwira muda.
Pada seputar Juni 1963, wajah Benny terpampang di hampir semua harian nasional, saat Bung Karno menyematkan Bintang Sakti pada sebuah upacara di halaman Istana Merdeka, menyambut prajurit dan sukarelawan yang baru kembali dari Operasi Trikora.
Wajah Benny mengenakan baret merah (masih dengan badge model lama), telah masuk dalam memori publik, tentu dengan segala keterbatasan teknologi media, zaman yang belum lagi mengenal platform media digital.
Setelah upacara kebesaran militer di halaman Istana Merdeka tersebut, sosok Benny selanjutnya masuk dalam "radar” Bung Karno. Salah satu indikator kuatnya hubungan Bung Karno dan Benny, adalah ketika resepsi pernikahannya (1964) diselenggarakan di Istana Bogor, sebuah privilege yang langsung diberikan Bung Karno, sungguh keistimewaan bagi seorang perwira menengah seperti Benny.
Setelah sekian dasawarsa, tepatnya pada tahun 2005, baru ada lagi seorang perwira yang resepsi pernikahannya diselenggarakan di Istana Bogor. Resepsi dimaksud adalah ketika (dengan pangkat saat itu) Lettu Inf Agus Harimurti Yudhoyono menikah dengan Annisa Pohan. Letnan Agus adalah putra pertama dari Presiden SBY (2004-2014), sehingga ada kemudahan untuk menyelenggarakan resepsi di Istana Bogor, atau di istana yang lain.
Dalam peta politik pasca-Orde Baru, nama Benny Moerdani masih terasa gaungnya melalui sejumlah anak-didiknya, seperti Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970), Agum Gumelar (Akmil 1968) dan Hendro Priyono (Akmil 1967).
Tiga nama ini hanyalah sebagian dari "anak didik” Benny Moerdani yang masih mewarnai panggung politik Indonesia mutakhir. Jejak Benny masih terasa dalam peta politik hari ini yang praktis tak mengalami perubahan signifikan sejak tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto, sampai dua dekade pasca-Reformasi 1998.
Bayang-bayang Benny juga bisa ditemukan pada sosok Megawati Soekarnoputri. Saat masih berkuasa dulu, salah satu cara Benny untuk mengimbangi (baca: melawan) Soeharto, adalah dengan diam-diam membantu Megawati, putri Bung Karno.
Ini memang perang simbolis, pada awalnya publik juga tidak sadar. Benny sengaja mendorong karier politik Megawati, mengingat Bung Karno adalah mimpi buruk bagi Soeharto.
Sementara di sisi lain, Benny merasa punya hutang budi pada Sukarno. Singkatnya tindakan Benny ibarat pisau bermata dua, yaitu melawan Soeharto, sekaligus membalas utang budinya pada Sukarno.
Bagi masyarakat awam sempat kesulitan membaca manuver Benny, salah satunya saat kampanye PDI menjelang Pemilu 1987 yang gegap gempita.
Seandainya sudah ada teknologi drone saat itu, kita akan melihat bagaimana Jakarta menjadi "lautan merah” bila ditengok dari ketinggian.
Rasanya mustahil tak ada dukungan dari salah satu faksi elite politik di pusat kekuasaan, baru di kemudian hari, kita semua tahu siapa orang kuat di belakang Megawati dan PDI (belum memasang label Perjuangan).
Puncaknya adalah Peristiwa 27 Juli 1996, yang berdampak positif bagi Megawati, karier politiknya tak terbendung lagi. Berkat peristiwa 27 Juli 1996 pula, Megawati bersama elite PDIP lainnya bisa meraih apa yang selalu menjadi impian para politikus, yaitu kekuasaan dan kemapanan. Tak salah bila dikatakan, meski sudah lama tiada, Benny selalu aktual, berkat jejaknya yang masih kasat mata sampai hari ini.
Benny dan generasi baru TNI
Dua dekade setelah kepergian Benny, juga ditandai dengan menurunnya citra figur TNI, belum lagi lahir tokoh TNI generasi sekarang yang sekaliber Benny. Minat generasi baru (terutama Gen Z) untuk memasuki Akmil tetap tinggi, namun melahirkan tokoh besar sekelas Benny adalah soal yang lain lagi.
Media nasional sudah sangat jarang mengutip ucapan seorang tokoh TNI, jauh berbeda dengan saat Benny masih aktif dulu, segala ucapannya selalu menjadi headline di media nasional, baik cetak maupun elektronik.
Ada fenomena menarik baru-baru ini, ketika sebuah harian nasional terkemuka, tidak lagi menempatkan berita pelantikan perwira remaja lulusan Akademi TNI (termasuk Akmil) di halaman utama, dan itu pun hanya sekadar foto.
Padahal pelantikan itu dilakukan langsung oleh Presiden Jokowi, dengan upacara kebesaran militer di Istana Merdeka. Di masa-masa sebelumnya, pelantikan perwira remaja lulusan Akmil dan akademi lainnya, selalu mendapat tempat di halaman depan.
Melemahnya perhatian media arus utama terhadap isu militer, ditambah tidak pedulinya masyarakat, justru memberi ruang bagi elite TNI, untuk meluncurkan wacana "ajaib”, salah satunya terkait rencana penambahan 22 Kodam (Komando Daerah Militer).
Penambahan jumlah Kodam bisa dibaca sebagai antitesis atas konsep Benny saat masih menjadi Pangab dulu (1983-1988).
Ketika muncul wacana penambahan 22 Kodam, terkesan generasi baru elite TNI, kurang memberi apresiasi terhadap pimpinan TNI di masa lalu, salah satunya adalah Jenderal Benny Moerdani. Bila penambahan Kodam benar-benar terlaksana, itu sama saja dengan mengeliminir konsep dan jejak Benny.
Selain sebagai Panglima ABRI, Benny juga seorang pemikir atau konseptor, dengan salah satu produknya adalah validasi organisasi dan satuan TNI AD, dengan cara merampingkan jumlah Kodam di Indonesia, dari sebelumnya 17 Kodam, kemudian menjadi hanya sepuluh.
Tentu ada gagasan Benny di balik validasi komando teritorial tersebut, yakni efisiensi dan merit system, bahwa memang tidak mudah untuk promosi dari kolonel (posisi Danrem) masuk ke level perwira tinggi (brigjen).
Mengapa ini semua bisa terjadi? Salah satu kemungkinannya adalah, anak didik Benny yang masih berperan di lingkaran kekuasaan, tidak melakukan penyegaran atas gagasan Benny. Hendro Priyono dan Luhut Panjaitan sebagai proxy Benny yang paling sukses di panggung kekuasaan, tampaknya lebih sibuk mendorong kerabatnya untuk jabatan puncak di TNI AD, namun abai dalam membangun jaringan baru.
Berbeda dengan Prabowo, dengan sumber daya yang melimpah, Prabowo terus melakukan pembinaan dan membangun jaringan dengan perwira generasi berikutnya. Sehingga tidak sempat terjadi keterputusan seperti yang terjadi pada anak-didik Benny.
Setidaknya sampai generasi 1990-an, jaringan Prabowo tetap hidup. Salah satu nama yang bisa disebut adalah Mayjen Rui Fernando Palmeiras Duarte (Akmil 1993), yang baru saja mencapai prestasi gemilang di bidang akademis, ketika mempertahankan disertasinya di Unhan belum lama ini.
Namun yang lebih penting disampaikan, Rui adalah nama yang disiapkan untuk mengisi posisi dalam kabinet Prabowo-Gibran nanti, semisal sebagai Menteri Sekretaris Kabinet.
Untuk generasi 1980-an juga demikian, beberapa nama yang bisa disebut adalah Letjen Purn Lodewijk Paulus (Sekjen Golkar, Akmil 1981) dan Mayjen Purn Musa Bangun (fungsionaris Partai Gerindra dan pendukung militan Capres Prabowo). Seperti halnya Rui Duarte, Lodewijk dan Musa Bangun juga masuk nominasi untuk mengisi posisi di kabinet mendatang.
Selain Lodewijk, terdapat dua nama rekan segenerasinya di Akmil yang sama-sama bergabung di Golkar, yaitu Andogo Wiradi (mantan Deputi V KSP, Akmil 1981) dan Eko Wiratmoko (Akmil 1982). Lodewijk dan Eko Wiratmoko menjabat danyon di Kopassus, saat Prabowo menjabat Danjen Kopassus (1995-1998). Artinya, keduanya adalah perwira terpilih dan dekat secara pribadi dengan Prabowo, karena pos danyon di Kopassus jumlahnya terbatas.
Sementara Andogo dan Musa Bangun adalah penerus Prabowo sebagai Danyon Linud 328/Kujang II Kostrad, satuan legendaris yang sudah sangat identik dengan Prabowo. Sekadar mengingatkan, Prabowo diangkat sebagai Wadanyon 328, kemudian berlanjut sebagai Danyon, adalah cara Benny untuk menjauhkan Prabowo dari Kopassus.
Keberadaan Andogo, Lodewijk dan Eko Wiratmoko di Golkar, salah satunya bisa berguna untuk membuka tabir atas hubungan yang kompleks antara Luhut (sebagai proxy Benny yang masih aktif di politik) dan Prabowo. Dengan adanya tiga nama itu di Golkar, narasi yang dibangun selama ini, bahwa seolah ada konflik laten antara Luhut dan Prabowo, ternyata cuma kisah abal-abal. Melalui tiga perwira kesayangan Prabowo itu pula, telah terjadi rekonsiliasi secara imajiner anatara Prabowo dan Benny Moerdani. Terlebih bila kita mengingat kembali cerita masa lalu, ketika Lodewijk hampir saja menjadi menantu Benny Moerdani.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.