Ada Apa di Balik Kisah Hantu alias Jurig Tanah Pasundan?
14 Maret 2022Emi, 36 tahun, ibu rumah tangga yang sedang sibuk mencuci piring di rumahnya yang terletak di kawasan penduduk padat, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, membagikan sekelumit nasihat dari orang tuanya.
Masih segar dalam benaknya ajaran lisan orang tua agar tidak bermain di luar rumah saat magrib menjelang. Orang tuanya sering bercerita tentang sosok tidak kasat mata yang di tanah Pasundan dikenal dengan nama Sandekala.
"Kalau di desa mah masih berlaku yang kayak gitu-gitu. Biasanya kita diceritain itu supaya jangan main keluar rumah sore-sore. Biar takut dan diam di rumah," kata perempuan yang biasa dipanggil Teh (kakak, bahasa sunda) Emi yang lahir di Ciater, Kabupaten Subang, kepada DW Indonesia.
Seiring bertambahnya usia, Teh Emi pun menyadari bahwa hal itu sebagai pamali, yakni larangan atau nasihat tidak tertulis yang harus dipatuhi dalam budaya Sunda.
"Saya sih nurut-nurut aja. Nurut karena ngikutin omongan orang tua dan takut sama cerita Sandekala," tutur Teh Emi.
Hal serupa juga dialami oleh Zaini Alif, dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Laki-laki yang berbicara dengan aksen Sunda kental ini menuturkan bahwa ibunya juga menceritakan kisah sosok gaib Sandekala agar ia sudah berada di rumah sebelum azan Magrib berkumandang.
"Sande itu artinya tanda. Kala itu artinya waktu. Jadi Sandekala memiliki makna pergantian waktu dari siang ke malam," ucap pria yang akrab dipanggil Kang Zaini. Ini menekankan agar orang tidak lupa waktu dalam hidup.
Upaya merangkum makna
Menurut Kang Zaini, tanpa mengecilkan kemampuan berpikir anak-anak, rasa takut dari cerita hantu atau yang dalam bahasa sunda dikenal sebagai jurig dapat membuat anak patuh terhadap orang tua.
"Anak-anak lebih dapat menerima cerita jurig agar timbul rasa takut yang berujung kepatuhan. Namun setelah dewasa, mereka akan menyadari bahwa ada sebab akibat yang diterima secara logika di balik itu semua," papar Kang Zaini kepada DW Indonesia.
Berangkat dari rasa ketertarikannya terhadap fenomena ini, Kang Zaini mulai menyusun buku yang ia rencanakan berjudul Ghostpedia sejak tahun 2009.
Lelaki berusia 46 tahun ini melibatkan setidaknya 30 mahasiswa dan tiga orang penulis termasuk dirinya untuk meneliti kisah kisah sosok supranatural di seantero Provinsi Jawa Barat. Kendati Banten juga beretnis Sunda, Kang Zaini memutuskan penelitiannya di wilayah administratif Provinsi Jawa Barat.
"Ada makna dan nilai yang diturunkan turun-temurun dari cerita jurig. Ada tiga hal yang ingin saya ungkap yaitu value, meaning, dan purpose," ujar Kang Zaini.
Atas landasan tersebut, Kang Zaini membulatkan tekad untuk merangkum seluruh kisah jurig yang dituturkan lisan dari para orang tua ke anak-anaknya. Kang Zaini menilai penyampaian makna luhur yang terkandung tersebut mulai ditinggalkan di era modern saat ini.
Kang Zaini menambahkan bahwa pandemi COVID-19 dua tahun terakhir juga menghambat proses penelitian untuk buku Ghostpedia.
"Saat ini Ghostpedia masih dalam tahap pengerjaan sekitar 50% sampai 60%," kata Kang Zaini. Hingga Maret 2022 ketika diwawancarai DW Indonesia di kediamannya, Kang Zaini dan tim setidaknya telah mengumpulkan sekitar 260 sketsa jurig dari seluruh Provinsi Jawa Barat.
Budaya carek dan coret
Kang Zaini yang juga mengajar mata kuliah Manusia dan Budaya Sunda di ISBI menerangkan bahwa ada dua metode penyampaian nasihat di tataran masyarakat Sunda. Pertama, carek atau dicareken. Kedua, coret.
Carek adalah upaya penyampaian larangan atau nasihat yang disampaikan secara lisan dari tokoh-tokoh kepala desa atau kampung. Carek berarti marah dalam bahasa Indonesia. Sedangkan coret adalah penyampaian pesan secara tertulis.
Masyarakat Sunda, menurut Kang Zaini, memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi pada carek daripada coret. "Ilmu carek diucapkan oleh seseorang yang memiliki kekuatan atau otoritas," kata Kang Zaini.
Nasihat atau petuah yang diucapkan oleh para tetua kampung pada zamannya dipatuhi oleh semua warga. Hierarki sosial di masyarakat Sunda berperan dalam membangun kepatuhan. Dia menganalogikan di era modern ini, tetua kampung bisa disamakan setingkat ketua Rukun Warga (RW).
Kang Zaini yang juga pendiri Komunitas Hong yang melestarikan mainan tradisional Indonesia menjelaskan bahwa anak-anak di era digital sudah tidak punya rasa takut akan hal-hal tersebut. Derasnya arus informasi dari internet yang dijembatani telepon seluler berkontribusi pada perubahan pola pikir anak.
Sudah mulai ditinggalkan
Teh Emi menuturkan kepada DW Indonesia bahwa dia sudah tidak menceritakan kisah jurig kepada Diki, anak laki-lakinya yang kini berusia 13 tahun. Teh Emi berpendapat bahwa cerita tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi zaman.
"Saya sekarang udah engga pernah cerita ke Diki. Jaman modern udah ga ada kayak gitu lagi," ucap Teh Emi seraya menambahkan dia selalu mengingatkan anaknya untuk lekas beribadah saat magrib menjelang.
Tantangan serupa juga dihadapi oleh Kang Zaini saat meneliti kisah jurig. Bahkan, para responden yang didata untuk penelitian kualitatif acap mengkritik para mahasiswa yang terlibat dalam proses pendataan ini. Para responden dari kalangan orang tua di zaman ini menganggap proses penyampaian nasihat tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Jurig Persib, macam apa itu?
Menurut Kang Zaini, melalui larangan yang bersifat menakuti ini anak-anak mulai diperkenalkan dengan konsekuensi atau hubungan sebab akibat sejak dini sebelum bertindak. Anak-anak tentu tidak ingin terkena risiko bertemu jurig bila melanggar perintah orang tua. Hal tersebut dapat dianggap sebagai hukuman bila mengabaikan nasehat ayah ibu.
Kang Zaini mencontohkan seperti misalnya Jurig Jarian. Sosok tak kasat mata bertubuh seperti anak kecil ini bersemayam di tempat sampah. Para orang tua melarang anaknya bermain di dekat tempat sampah agar tidak kotor atau terluka karena sampah.
Contoh lain, Kang Zaini melanjutkan, sosok Jurig Lulun Samak yang mendiami sungai atau danau. Orang tua menceritakan hantu ini kepada anak-anak mereka agar tidak terlalu lama bermain di sungai atau danau khawatir nanti kaki mereka 'ditarik oleh hantu ini.'
"Padahal maknanya adalah ketika anak-anak sudah lelah bermain di sungai atau danau, kaki mereka bisa terseret pusaran air," ujar Kang Zaini.
Namun Kang Zaini juga menemukan adanya pergeseran makna dalam penggunaan kata jurig. Kata jurig yang dulunya ditakuti, kini mulai diasosiasikan dengan orang yang memiliki minat dan keahlian tertentu.
"Misalnya, Jurig Persib Bandung. Itu bukan jurig di Persib Bandung. Tapi seseorang yang sangat menyukai atau memahami Persib Bandung," papar Kang Zaini sambil tertawa. (ae)