Pertemuan IMF-Bank Dunia Sarat Kepentingan Tambang
15 Oktober 2018Investasi senilai 13,2 miliar Dolar AS atau setara dengan 200 triliun Rupiah bagi Indonesia disepakati pada Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 yang berakhir hari Minggu (15/10) di Nusa Dua Bali. Pemerintah melalui 14 BUMN menandatangani kontrak investasi dalam 21 proyek infrastruktur dari berbagai sektor, di antaranya pembangunan infrastruktur di sektor pariwisata, pabrik amunisi PT Pindad di Malang dan proyek tambang misalnya investasi PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebutkan lebih dari setengah dana investasi dialokasikan untuk sektor tambang dan energi, sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa ada kepentingan pertambangan yang besar dalam pertemuan ekonomi tersebut.
"Penandatanganan investasi baru di sektor tambang menduduki sektor terbesar, yakni sekitar 7,7 miliar Dolar AS. Artinya apa?" ungkap Melkey Nahar, Kepala Kampanye JATAM. "Bicara investasi, maka akan membutuhkan lahan, dan air... Kami lihat ini sama sekali tidak ada dalam diskusi dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali kemarin," ujar Melkey menambahkan dalam wawancara bersama DW Indonesia.
Siapa yang untung?
Dalam kerja sama yang dimaksudkan JATAM, PT Antam sepakat untuk menyediakan pasokan bijih nikel secara stabil untuk perusahaan Ocean Energy Nickel International Pty Ltd (OENI) dalam proyek Pabrik Nickel Pig Iron (NPI) Blast Furnace di Halmahera, Maluku Utara. Sebagai timbal balik, OENI memastikan pendanaan dan penyelesaian konstruksi tepat waktu di Halmahera.
JATAM menolak adanyainvestasi dalam bentuk dana pinjaman di sektor tambang karena dianggap tidak memberi keuntungan kepada masyarakat setempat.
"Ini menjadi masalah ketika pemerintah begitu antusias ketika ada lembaga keuangan dari negara lain yang mau berinvestasi di Indonesia. Padahal dalam catatan kami, investasi lahan dalam sektor tambang dan energi meningkatkan intensitas kekerasaan di masyarakat, perampasan tanah ulayat dan pencemaran air yang terus dilakukan di hampir seluruh wilayah Indonesia," ungkap perwakilan organisasi yang fokus mengurus masalah tambang di Indonesia tersebut.
Menakar penting tidaknya investasi
Oleh karena itu, pemerintah pun didesak untuk mengaji ulang bentuk kerja sama investasi yang selama ini dijalin dengan IMF dan Bank Dunia serta berbagai perusahaan yang berafiliasi dengan kedua lembaga tersebut. Evaluasi ini penting untuk mendapat bukti valid tentang dampak langsung yang dialami masyarakat di lokasi pertambangan.
"Konteksnya membicarakan kesejahteraan masyarakat lewat nikel, di Halmahera Tengah. Namun di Pulau Gebe, PT Antam meninggalkan kerusakan yang tidak terpulihkan di sana. Apakah ini menyejahterakan masyarakat juga?" tanya Melkey Nahar lebih lanjut.
JATAM mendesak agar pemerintah Indonesia dapat melihat potensi yang menjadi kekuatan masyarakat di suatu tempat. Misalnya saja sektor pertanian dianggap lebih menguntungkan banyak orang di Halmahera daripada sektor tambang.
"Tidak sesuai dengan apa yang sebetulnya menjadi problem mendasar dari masyarakat kita hari ini yang notabene sebagian besar petani. Mereka pasti membutuhkan lahan, dan air. Namun yang ditawarkan pemerintah justru sebaliknya, yang justru menghancurkan secara terus menerus ruang hidup masyarakat di Halmahera Tengah," kata Melkey menutup penjelasannya
ts/hp (dw)