Ada Hiburan dan Ajaran Toleransi di Tiap Cerita Wayang Wolak-Walik
Wayang wolak-walik yang didalangi Ki Jumali dari Jawa Timur tidak hanya menghibur anak-anak di lokasi bencana. Pada tiap ceritanya, ada ajakan untuk bertoleransi dan mencintai lingkungan.
Kenapa disebut wayang wolak-walik?
Dalam setiap pementasan, Ki Jumali tidak pernah sendiri. Ia selalu membawa rekan yang juga berperan sebagai dalang. Biasanya mereka duduk saling berhadapan pada dua sisi yang berbeda di sebuah layar, karena itulah disebut wolak-walik atau dua sisi. Dan, lampu akan menyorot layar untuk memberikan efek cahaya.
Anak-anak juga ikut menjadi dalang!
Lewat kesempatan ini anak-anak juga akan diminta ikut aktif mendalang. Saat mendalang, mereka secara tidak langsung akan belajar mengenali berbagai macam emosi lewat karakter yang mereka mainkan. Ki Jumali berharap pengenalan emosi ini bisa jadi sarana penyembuhan trauma bagi anak di daerah bencana, seperti di lereng Semeru, Jawa Timur.
Tokoh-tokoh sejarah kontemporer
Tokoh wayang yang dibuat sangat bervariasi tergantung pada karakter yang akan dimainkan dan bahan yang digunakan. Beragam karakter pernah dibuat mulai tokoh yang melegenda seperti tokoh dalam mitologi, ada pula Wali Songo, Kiai Haji Hasyim Asy'ari, Gus Dur (dalam gambar, kiri) hingga Presiden Joko Widodo.
Karakter wayang lebih dekat dengan keseharian warga
Alur cerita juga disesuaikan dengan kebutuhan dan tema acara. Di wayang wolak-walik, tokoh-tokohnya adalah mereka yang biasa dijumpai di kehidupan sehari-hari seperti bapak, ibu dan anak, ada pula karakter prajurit, ulama, petani (gambar di atas), dan aneka profesi. Ki Jumali juga menyelipkan pesan moral dan ajaran agama dalam setiap pementasan.
Cikal-bakal ide wayang sejak tahun 1991
Pementasan wayang wolak-walik yang dikomandani Ki Jumali tidak terjadi begitu saja. Proses panjang telah dilalui mantan aktivis Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) ini pada tahun 1991. Saat itu, Ki Jumali membentuk teater Rambutan bersama seorang kawan asal dari Belgia. Ia ingin bisa menyebar nilai-nilai kebaikan lewat tiap pertunjukannya.
Manfaatkan kardus bekas dan kulit sapi
Tahun 1996, saat itu ia membuat wayang legenda. Dengan memanfaatkan kardus dan kulit sapi atau kerbau sebagai bahan tokoh wayang. Karakter wayang legenda menggunakan tokoh legenda dari dongeng masa lalu. Ia terus menampilkan wayang legenda ini hingga akhirnya Ki Jumali menciptakan wayang wolak-walik di tahun 2014.
Ajak generasi muda mengenal tradisi
Mbah Jo, rekan sejawat Ki Jumali juga ikut melatih anak-anak bermain musik di sebuah sanggar milik Ki Jumali di Kota Malang, Jawa Timur. Sanggar ini tidak menentukan besaran tarif bagi anak-anak yang ingin belajar. Yang penting anak mau belajar dan mengenali tradisi mereka. (ae)