Adakah Larangan Berjilbab di Uni Eropa?
2 Februari 2023Sejak lama Eropa mendebatkan kewajiban menutup kepala bagi perempuan muslim. Sebagian ingin melarang hijab dengan dalih untuk menangkal pemaksaan agama dan terorisme. Namun, pegiat HAM sepakat, larangan tidak hanya mendiskriminasi hak perempuan, tetapi juga menghalangi integrasi warga berlatar belakang migran.
Saat ini, sejumlah negara di Eropa melarang penutup wajah seperti burka atau niqab. Jilbab juga dilarang di lembaga pendidikan, ruang kerja, atau bahkan di kawasan publik.
Menurut laporan Open Society Justice Initiative, sebuah lembaga bantuan hukum, simbol keIslaman mulai diperkarakan setelah serangan teror 9 September 2001 di New York, AS.
"Idenya adalah bahwa muslim sebagai sebuah kelompok adalah musuh di dalam selimut, dengan keyakinan dan praktik keagamanan yang inferior dibandingkan Eropa. Pandangan ini muncul secara serentak di semua spektrum politik,” tulis lembaga nirlaba asal AS tersebut.
Setelah serangan teror 11 September, Prancis menjadi negara UE pertama yang melarang burka dan niqab pada 2010, dengan dalih sebagai simbol penindasan perempuan.
Austria, Belgia, Bulgaria, Denmark menyusul, yang diikuti sejumlah wilayah di Italia dan Spanyol, serta Belanda dengan larangan penutup wajah di ruang publik.
Apakah UE melarang hijab?
Pada Juli 2021, Mahkamah Keadilan Eropa (ECJ), memutuskan bahwa perempuan bisa dipecat dari pekerjaan karena menolak menanggalkan hijab, jika pekerjaannya berurusan langsung dengan publik.
Dalam putusannya, ECJ menilai pemilik perusahaan berhak melarang penggunaan simbol agama untuk "melindungi netralitas di depan konsumen untuk mencegah konflik sosial.”
Tapi pada Oktober 2022, ECJ mewajibkan perusahaan UE memberikan alasan untuk membenarkan larangan berjilbab, setelah seorang perempuan muslim dilarang bekerja dengan hijab di Belgia.
Asmaa el Idrissi, pengacara anti-diskriminasi di Bochum, Jerman, mengatakan aturan tersebut tidak membantu pertumbuhan ekonomi dan bersifat diskriminatif.
"Saya berurusan dengan larangan berjilbab ketika bekerja di sebuah lembaga pemerintah di negara bagian Hessen. Saya dilarang masuk ke ruang sidang, bertemua saksi, atau terlibat dalam sejumlah pertemuan prasidang, kata dia.
"Tapi hijab adalah identitas dan alat pemberdayaan bagi saya. Larangan tidak membantu perusahaan yang ingin membangun diversitas dan keragaman.”
Menurut laporan Open Society Justice Initiative, di kebanyakan negara UE, larangan hijab terutama dipromosikan oleh kelompok nasionalis dan partai ekstrem kanan. Sebaliknya lima negara UE, Kroasia, Siprus, Yunani, Polandia, dan Portugal, sejauh ini belum membahas larangan hijab.
Dialog dengan perempuan
Saye Skye, pegiat HAM asal Iran di Jerman, mengatakan Uni Eropa harus membuka ruang dialog yang aman bagi semua elemen masyarakat untuk membahas penggunaan hijab.
"Hijab adalah isu panas di Barat, dipicu minimnya pemahaman tentang apa artinya bagi mereka yang mengenakannya. Di Iran, selama 43 tahun terakhir, orang dibunuh karena tidak mengenakan hijab. Di Afganistan, Taliban mewajibkan hijab bagi perempuan,” tuturnya.
Tidak dipungkiri, pemaksaan hijab di Iran turut menggerus identitas banyak kelompok. Tapi menurut Skye, isu hijab bagi perempuan tidak hitam putih.
"Meski ada banyak bentuk represi terhadap perempuan dengan menggunakan hijab, ada banyak perempuan juga yang melihat hijab sebagai bagian dari identitasnya dan cara dia untuk mengekspresikan diri sendiri,” kata Skye.
"Jadi, kita membutuhkan ruang aman untuk diskursus tentang hijab di dalam Uni Eropa. Ada trauma di kedua sisi. Eropa harus menyambut kerumitan ini dan justru bersolidaritas, ketimbang cuma melarang tanpa memahami konsep hijab,” tambahnya.
(rzn/hp)