Ahok, Indikator
28 Maret 2016Saya tak tahu apakah saya cocok dengan Ahok, secara pribadi. Saya juga tak tahu apakah dalam setiap hal saya akan setuju dengan pilihan kebijakannya. Yang saya tahu, sebagai warga Jakarta, dan sebagai orang Indonesia, saya ingin dia menang dalam Pilkada DKI 2017.
Saya mengalami sendiri bagaimana berangsur-angsur Jakarta jadi lebih baik.
Di dekat rumah saya ada sebuah balong besar yang kotor dikelilingi himpunan gubug kumuh. Bertahun-tahun. Kini ia diubah jadi kolam luas dan taman hijau.
Tak jauh dari tempat saya bekerja, ada Pasar Minggu. Berpuluh-puluh tahun jalan di depan pasar itu macet oleh pedagang dan kendaraan. Kotor, berisik, tak memberi peluang orang melihat ke toko-toko di sekitar itu. Sejak Jokowi dan Ahok memimpin Jakarta, keadaan berubah. Kaki lima dan pasar teratur. Jalanan lebih longgar. Toko-toko di tepi jalan kelihatan.
Jika kita kini berkeliling Jakarta, kita akan melihat jalanan jadi bersih, sampah tersingkir dari sungai, dan banjir jauh berkurang. Saya dengar teman-teman saya yang bertahun-tahun kebanjiran bila hujan, kini lega. Ahok mengerahkan dan membayar ratusan tenaga kerja yang secara rutin membersihkan gang, jalan, parit, gorong-gorong.
Siap bekelahi
Sejak bersama Jokowi sebagai Gubernur, Ahok memulai gebrakan perbaikan kota dengan membereskan birokrasi kota. Ia, yang dikenal keras dalam soal korupsi, dan keras kepada dirinya sendiri dan keluarganya, bisa melakukan hal ini karena tak ada rasa takut akan dianggap palsu. Di sebuah kota yang birokrasinya (dan DPRD-nya) bertahun-tahun jadi bagian mafia segala hal (mafia sampah, mafia parkir, mafia pasar, mafia… Ahok siap berkelahi.
Kadang-kadang saya khawatir, orang yang terus menerus membersihkan pemerintahan dari korupsi akan tergoda untuk menjadi orang yang merasa paling suci atau pahlawan yang siap berkorban. Saya harap Ahok punya cukup rasa humor untuk menangkal godaan “narsisme' ini. Tapi mungkin tak ada pilihan lain: berkelahi melawan korupsi memang perlu stamina, konsentrasi, dan kelihaian yang tinggi. Ahok punya semua itu.
Harapan sekaligus indikator
Tapi tak hanya itu. Ahok adalah sebagian dari harapan yang lebih luas. Pilkada DKI 2017 bukan cuma untuk memenangkan orang ini. Kita memilihnya karena kita ingin memberinya tugas: jadi indikator bahwa Indonesia sedang berubah ke arah yang lebih baik, dengan memilih orang jadi pemimpin karena kemampuannya, bukan karena agamanya atau latar belakang etnisnya. Juga indikator bahwa orang-orang tak berpartai, yang mengusung Ahok, yang jumlahnya jauh melebihi suara yang masih percaya kepada partai, berhak dan bisa menang.
Ketika partai-partai tampak hanya jadi mainan orang kaya dan orang tua, indikator itu penting. Kita sedang membangun harapan.
Penulis:
Goenawan Mohamad, seorang sastrawan, pendiri majalah Tempo dan Komunitas Salihara, penerima penghargaan Louis Lyon dari Yayasan Nieman, CPJ International Press Freedom Award (1998), International Editor of the Year Award dari World Press Review (1999), serta Dan David Prize Award (2006). Ia juga merupakan ketua Komite Nasional pameran buku Frankfurt Book Fair 2015, saat Indonesia menjadi tamu kehormatan.
@gm_gm
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.