Ahok Diancam FPI, Seberapa Bahaya Pasal Penodaan Agama?
24 Januari 2019Belum sehari bebas, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) sudah mendapat peringatan tak sedap dari Front Pembela Islam. Bekas gubernur DKI itu diminta untuk "tidak mencampuri urusan umat Islam" dan menjaga ucapannya, tutur Novel Bamukmin, salah seorang tokoh FPI. Hal serupa dilayangkan juru bicara FPI, Slamet Maarif.
"Kami berharap Ahok dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari kejadian yang sudah terjadi dan tidak mengulangi kembali serta berhati-hati dalam bertindak dan berucap. Jangan sakiti kembali umat Islam. Ingat, lidahmu harimaumu," kata dia kepada Detik.com.
Baca juga: "He's Back!" - Ahokers dan Pegiat HAM Rayakan Pembebasan BTP
Peringatan FPI tak terlepas dari pasal penistaan agama yang dikenakan terhadap Ahok, yang sekarang ingin dipanggil BTP. Kini pria berusia 54 tahun itu harus 'berhati-hati' agar tidak lagi terjatuh di lubang yang sama.
Sejak divonis bersalah 2017 silam, Basuki menjadi simbol persekusi minoritas atas alasan agama. Organisasi HAM, Human Rights Watch (HRW), menilai pidana terhadapnya bernilai simbolik tinggi. Jika BTP yang mengantongi dukungan orang nomor satu di Indonesia dan partai terbesar saja bisa dibuat takluk, apalagi anggota minoritas lain yang tak berdaya?
Sebab itu Amnesty International menyebut pembebasan Ahok sebagai "kemenangan kecil yang harus dirayakan" dan HRW merilis keterangan pers yang mewanti-wanti maraknya politisisasi pasal penistaan agama di masa depan. "Yang harus diingat adalah kaum minoritas di Indonesia masih berada dalam penjara pasal penodaan agama," kata pegiat HAM Andreas Harsono kepada DW.
Menurut Andreas, situasi kaum minoritas tidak lantas membaik dengan kontestasi pilpres yang sedang berlangsung. KH. Ma'ruf Amin yang antara lain ikut berkampanye memenjarakan Ahok kini duduk sebagai calon wakil presiden bersama Joko Widodo. Adapun Prabowo Subianto berulangkali bermain mata dengan kelompok radikal guna menjaring suara muslim konservatif.
Baca juga: UU Penodaan Agama, Tetap Harus Dipertahankan atau Sebaiknya Dicabut Saja?
"Selama pasal itu masih ada, ia akan terus dipakai sebagai senjata untuk menyudutkan minoritas, baik itu politisi atau kelompok muslim yang moderat."
Pasal penodaan agama yang berasal dari tahun 1965 hingga saat ini telah digunakan buat mengurung 150 orang di balik jeruji besi. Tahun lalu HRW mencatat enam korban berhasil dipenjara oleh pengadilan atas dakwaan serupa.
Termasuk di antaranya perempuan beragama Buddha yang mengeluhkan volume suara adzan di Tanjung Balai, Sumatera. Meiliana divonis 18 bulan penjara karena dianggap bersalah turut memicu kerusuhan yang berujung pada pembakaran sejumlah rumah ibadah kaum Buddha. Sedangkan pelaku kerusuhan hanya mendapat vonis ringan.
Sementara itu di Jambi, anggota DPRD Tanjung Jabung Barat, Riano Jaya Wardhana, masih menjalani masa tahanan selama satu tahun usai mengeritik kelompok yang memanfaatkan kasus Basuki untuk politisasi agama. Adapun di Pandeglang, Arnoldy Bahari, dibui selama lima tahun karena dinilai menghina keyakinan umat muslim.
Kepada DW, putri mendiang KH. Abdurrahman Wahid, Alissa Wahid, menilai pasal penodaan agama akan lebih sering digunakan di masa depan. Menurutnya penggalangan kekuatan massa untuk memaksakan vonis tertentu dalam sidang penodaan agama masih terlampau efektif. Terlebih sikap mendua Polri membuka peluang persekusi lewat lembaga peradilan.
Baca juga: Beragama dengan Rileks dan Berbelas Kasih
"Setelah kasus Ahok kita melihat ada perubahan sikap dari penegak hukum. Jadi lebih gampang buat meloloskan kasus penistaan agama."
Namun Alisa menolak anggapan kelompok minoritas kini harus merunduk agar tidak dijadikan sasaran kelompok Islamis. "Bagaimanapun perlawanan itu harus dibangun," kata dia seraya menambahkan, " karena bukan cuma minoritas yang akan kena, tetapi juga kaum moderat Islam."
rzn/hp