1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTimur Tengah

Akankah Arab Saudi Jadi Medan Pertempuran Drone Berikutnya?

30 Januari 2021

Milisi Irak mengaku bertanggung jawab atas dua drone bunuh diri di Riyadh awal pekan ini - dan berjanji akan melakukannya lagi. Mereka menyarankan Saudi agar tertidur dengan "satu mata tetap terbuka".

https://p.dw.com/p/3oc9U
Drone diterbangkan pada parade militer di Arab Saudi
Drone diterbangkan pada parade militer di Arab SaudiFoto: Mosa'ab Elshamy/AP Photo/picture alliance

Dalam sepekan belakangan, dua proyektil misterius berhasil diblokir oleh sistem pertahanan udara Arab Saudi saat terbang di atas ibu kota Riyadh. Sabtu (29/01) lalu, saluran media milik negara mengatakan sebuah proyektil telah dicegat dan pada hari Selasa (26/01), namun ledakan terdengar lagi di kota itu sekitar tengah hari.

Di masa lalu, serangan pesawat nirawak (drone) di dekat atau ke negara Teluk telah dikaitkan dengan organisasi Houthi, yang berperang melawan Arab Saudi di Yaman. Tapi kali ini berbeda. Houthi membantah bertanggung jawab. Dan setelah serangan udara tersebut, sebuah kelompok yang berbasis di Irak bernama Alwiya Alwaad Alhaq, yang diterjemahkan sebagai "Brigade Janji Sejati," mengeluarkan pernyataan di saluran media sosial yang menyampaikan berita dari kelompok paramiliter Irak yang dikenal sebagai PMF.

Pesan berbahasa Inggris itu mengatakan grup yang baru dibentuk ini "secara terbuka menjadikan Arab Saudi sebagai target" pesawat bunuh diri tanpa awak, sebagai balas dendam atas bom bunuh diri baru-baru ini di pasar pusat Baghdad, Irak, yang menewaskan lebih dari 30 orang.

"Taman bermain baru" untuk drone dan serangan rudal

Dalam pesannya, kelompok ini menuduh bahwa Arab Saudi, negara mayoritas muslim Sunni, mensponsori kelompok ekstremis muslim Sunni yakni ISIS yang mengaku bertanggung jawab atas serangan mematikan pada tanggal 21 Januari di Baghdad. Sebagian besar kelompok PMF di Irak adalah muslim Syiah, dan beberapa bersekutu erat dengan Iran yang mayoritas berhaluan Syiah.

"Arab Saudi adalah lapangan bermain baru untuk serangan drone dan rudal," lanjut pesan itu. "MbS harus tidur dengan satu mata terbuka mulai sekarang," tambahnya, mengacu pada julukan populer Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman.

Meskipun milisi yang didukung Iran ini juga diduga berada di balik serangan drone dan rudal pada September 2019 di fasilitas minyak Aramco milik Saudi, ini adalah kali pertama mereka secara terbuka mengklaim bertanggung jawab atas hal seperti ini. 

Fenomena baru

Ini adalah fenomena yang sangat baru, ujar Hamdi Malik, peneliti yang berbasis di London di Washington Institute for Near East Policy, yang berfokus pada kelompok paramiliter Irak. "Kami belum pernah mendengar kelompok Irak ini mengklaim serangan atas wilayah ini sebelumnya," katanya.

Dalam setahun terakhir, semakin banyak grup baru bermunculan dari grup PMF yang lebih besar di Irak. "Metodenya adalah dengan membuat kelompok palsu, mengklaim serangan menggunakan identitas kelompok ini, dan dengan demikian menutupi peran (milisi yang telah mapan) dalam serangan itu," demikian ungkap analis Michael Knights dalam laporan untuk Pusat Pemberantasan Terorisme di akademi militer AS West Point pada Oktober 2020.

Meskipun semua kelompok tersebut berikrar setia kepada Iran, mereka memiliki tujuan politik yang berbeda.

Serangan drone 'tidak dapat dilakukan tanpa izin Iran'

"Namun ketika ada serangan terhadap negara lain [seperti yang terjadi saat itu], itu tidak dapat dilakukan tanpa izin Iran karena potensi konsekuensinya sangat besar bagi Irak dan Iran," kata Malik.

Serangan lain yang dilakukan oleh kelompok milisi baru Irak ini terkadang mendapat kecaman dari rekan-rekan mereka, atau bahkan diabaikan. Tetapi drone bunuh diri di Riyadh mendapatkan komentar dan dirayakan oleh semua paramiliter loyalis Iran. Bagi Malik, tanggapan serupa ini menunjukkan bahwa serangan pesawat tak berawak kemungkinan besar disetujui oleh Iran.

Analis tersebut percaya bahwa serangan ini adalah bagian dari kampanye Iran untuk menekan pemerintahan baru Biden guna mencabut sanksi terhadap negara itu dan kembali ke kesepakatan nuklir Iran 2015 yang disepakati dengan pemerintahan Obama, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).

Mantan Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari kesepakatan pada 2018, dan menerapkan sanksi "tekanan maksimum" terhadap Teheran. Saat ini, Iran berada di bawah tekanan ekonomi yang sangat besar, dan akan berdampak pada pemilihan presiden Iran yang dijadwalkan pada bulan Juni. Akibatnya, para analis mengatakan bahwa kepemimpinan Iran ingin supaya Presiden AS Joe Biden secepat mungkin kembali ke JCPOA.

Melintasi 'garis merah'?

"Tujuan Iran adalah menghapus sanksi," kata Malik. "Jadi, mereka berusaha menekan di tiga area utama," termasuk di pengayaan uranium yang pada akhirnya dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir, serta melakukan latihan dengan rudal dan drone. "Ini juga termasuk memberikan lebih banyak tekanan pada sekutu AS seperti Arab Saudi," ujarnya.

"Bagi Iran, status quo tidaklah berkelanjutan dan, diam-diam, ada pemahaman di antara semua pihak yang terlibat bahwa Iran harus terus menekan," Justin Bronk, seorang peneliti di Royal United Services Institute, sebuah wadah pemikir kebijakan pertahanan yang berbasis di London, mengatakan kepada DW.

Tapi semua itu mesti dilakukan tanpa melampaui garis merah Amerika, apalagi sampai membunuh warga negara Amerika, yang akan memaksa AS melakukan tanggapan militer terhadap Iran. "Ini adalah sesuatu yang tidak ingin mereka lakukan," ujar Bronk. 

Bronk, yang juga ahli pertahanan udara, mengatakan drone bersenjata yang dikenal sebagai "amunisi terapung" sangat cocok untuk ini. Pesawat nirawak ini harganya relatif murah dan dapat dibuang, dan dapat membawa sekitar 30 kilogram bahan peledak. Jumlah ini cukup untuk membuat kerusakan dan mungkin membunuh, tetapi potensi daya rusaknya terbatas. "Semuanya dikalibrasi dengan cermat," katanya.

Serangan drone seperti ini juga dapat dianggap sebagai pendorong moral bagi milisi anti-Saudi atau anti-AS, tambahnya.

Seberapa berbahaya ancaman ini bagi Saudi?

"Masalah bagi Arab Saudi adalah bahwa ini adalah negara yang sangat besar," ujar Bronk. "Sebagian besar tidak ada apa-apa (kecuali gurun). Namun ini berkaitan dengan infrastruktur kritis, banyak di antaranya cukup rentan karena, misalnya, berurusan dengan bahan yang mudah terbakar, seperti di industri minyak. Saat ini, Iran dapat menyerang Sekutu Amerika di kawasan itu tanpa memicu tanggapan militer AS, jadi saat ini saya akan lebih khawatir jika saya adalah sekutu Amerika yang berada di kawasan itu, dibandingkan jika saya duduk di kedutaan AS."

Sementara bagi keluarga kerajaan Saudi, Bronk berpendapat mereka dapat terus tidur nyenyak. Memang, tidak semua infrastruktur dapat dilindungi dari serangan udara, tetapi keluarga tersebut terlindungi dengan baik oleh apa yang disebutnya "deretan sensor dan penembak yang signifikan." ae/yp