Akankah Taiwan Menghapus Aturan Hukuman Mati?
25 April 2024
Mahkamah Konstitusi Taiwan pada Selasa (22/04) membahas aturan hukuman mati. Mereka memperdebatkan, apakah hukuman ini melanggar hak-hak yang dijamin oleh konstitusi demokratis Taiwan.
Taiwan dikenal dengan catatan hak asasi manusia yang kuat dan sikap progresifnya terhadap kesetaraan pernikahan dan hak-hak LGBTQ+. Pada tahun 2019, Taiwan menjadi negara pertama di Asia yang melegalkan pernikahan sesama jenis.
Gugatan di pengadilan memicu perdebatan sengit
Beijing menganggap Taiwan sebagai wilayah Cina, dan Presiden Xi Jinping telah menjadikan "penyatuan kembali" pulau demokratis dengan Cina daratan sebagai inti dari kebijakan strategisnya.
Perdebatan yang telah lama ditunggu-tunggu di Taiwan tentang hukuman mati, dianggap sebagai langkah bersejarah yang diyakini oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia akan menentukan masa depan hukuman mati di pulau demokratis tersebut dan mungkin akan semakin membedakannya dengan Cina, yang dianggap sebagai "algojo terkemuka di dunia", menurut laporan Amnesty International tahun 2022.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Meskipun diperkirakan keputusan akhir tentang konstitusionalitas hukuman mati tidak akan dibuat sebelum akhir September, perdebatan seputar hukuman mati telah semakin memanas.
Saul Lehrfreund, direktur eksekutif Death Penalty Project, sebuah organisasi yang menyediakan bantuan hukum gratis bagi mereka yang menghadapi hukuman mati kepada DW mengatakan, "Ini adalah perdebatan yang sudah berlangsung terlalu lama (di Taiwan)." "Saya senang bahwa pengadilan sekarang memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan apakah hukuman mati itu konstitusional atau tidak," tambahnya.
Perdebatan ini muncul setelah 37 terpidana mati di Taiwan, mengajukan petisi untuk peninjauan kembali konstitusional atas hukuman mati, dengan bantuan dari Aliansi Taiwan untuk Mengakhiri Hukuman Mati, sebuah koalisi LSM dan lembaga penelitian.
Para terdakwa, yang diwakili oleh pejabat dari Taiwan's Ministry of Justice (MOJ) atau Kementerian Kehakiman Taiwan menyatakan, hukuman mati hanya dianggap sebagai "upaya terakhir" yang tidak melanggar perlindungan hak untuk hidup.
Hak-hak dasar yang dijamin dalam konstitusi Taiwan "dapat dibatasi dalam kerangka pelestarian hukum dan prinsip proporsionalitas," tambah para pejabat MOJ.
Apa kata masyarakat Taiwan?
Jajak pendapat yang dikutip oleh Taipei Times menunjukkan, mayoritas masyarakat Taiwan menentang penghapusan hukuman mati.
Seorang pelajar berusia 17 tahun, yang berbicara kepada DW secara anonim, mengatakan ia mendukung hukuman mati dipertahankan. "Saya meyakini kasus pembunuhan harus dihukum dengan hukuman mati," katanya kepada DW, seraya menambahkan, hukuman itu harus djatuhkan tanpa memandang faktor-faktor di balik kejahatan tersebut.
Seorang mahasiswa lain yang berusia 20-an tahun memiliki pandangan serupa. Dia mengatakan kepada DW, karena pembunuh telah merenggut nyawa seseorang, maka sudah seharusnya sistem hukum melakukan hal yang sama.
Namun bagi para pendukung penghapusan hukuman mati, eksekusi terhadap pelaku kejahatan hanya akan memberikan penghiburan sementara bagi keluarga korban, bukan kenyamanan jangka panjang.
"Saya pikir harus ada langkah-langkah yang matang untuk memberikan penjelasan dan kompensasi kepada keluarga," kata Hong, seorang pekerja kantoran berusia 40 tahun. "Mungkin saat ini Anda merasa telah membalas dendam, tetapi pada kenyataannya, hal itu tidak akan berdampak jangka panjang pada keluarga korban."
Sejauh mana opini publik harus dipertimbangkan?
"Laporan Amnesty International tahun 2022 menunjukkan, hampir tiga perempat pemerintah di seluruh dunia yang telah menghapuskan hukuman mati dalam aturan hukum atau praktik, hampir tidak ada yang menghapus hukuman mati karena permintaan atau dukungan publik," kata Lehrfreund.
Sebaliknya, publik "mengikuti arahan politik atau arahan yudisial" dan pada akhirnya menerima penghapusan hukuman mati, ujarnya kepada DW,.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia meyakini, penafsiran konstitusional dapat membuka jalan bagi penghapusan hukuman mati secara formal, seperti halnya Taiwan melegalkan pernikahan sesama jenis setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pelarangan hal tersebut tidak konstitusional.
Namun, MOJ berargumen, kasus pernikahan sesama jenis dan hukuman mati tidak dapat dibandingkan, karena penerapan hukuman mati berkaitan dengan aturan kriminal.
Meskipun Taiwan telah mengambil langkah-langkah untuk menghapuskan hukuman mati, misalnya dengan menghapus eksekusi wajib untuk kejahatan tertentu, pulau demokratis ini masih memberlakukan hukuman mati untuk lebih dari 50 jenis kejahatan, termasuk pembunuhan, perampokan, dan perdagangan narkoba.
"Taiwan telah mengatakan selama bertahun-tahun, mereka berada di jalan menuju penghapusan hukuman mati," kata direktur eksekutif Death Penalty Project, Lehrfreund kepada DW. "Namun pertanyaan saya adalah, apakah jalan itu terlalu panjang secara politis dan belum ada kemajuan yang cukup untuk menjauh dari hukuman mati?"
Hong, yang mendukung penghapusan hukuman mati, juga percaya bahwa isu ini sering digunakan sebagai "semacam manuver politik."
"Saya rasa tidak akan mudah untuk mencapai konsensus," sebutnya seraya menambahkan, "karena bagaimanapun juga, Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan suara mayoritas rakyat ."
Terpidana mati terakhir yang dieksekusi di Taiwan adalah Weng Jen-hsien, yang dieksekusi di Taipei pada tahun 2020. Weng divonis hukuman mati karena membunuh enam orang, termasuk orang tuanya serta perawatnya.
Ini adalah eksekusi mati kedua di Taiwan sejak Presiden Tsai Ing-wen menjabat pada tahun 2016.
Mahkamah Konstitusi Taiwan diperkirakan akan merilis keputusan tentang hukuman mati antara bulan Juli dan September tahun ini.
fr/as