Akhir Sebuah Era di Malaysia
8 Mei 2013Barisan Nasional menang, tapi dengan hasil suara terburuk sepanjang sejarah kekuasaan mereka yakni 133 kursi, unggul atas oposisi yang hanya meraih 89. Kemenangan kontroversial yang diiringi sejumlah pertanyaan.
Pemimpin oposisi Anwar Ibrahim, menuding Barisan Nasional telah mencuri kemenangan Pakatan Rakyat.
“Ini akan menjadi sebuah awal gerakan sengit untuk membersihkan negeri ini dari malpraktik dan kecurangan pemilu,“ kata Anwar.
Bau amis kecurangan meruap: mulai dari “pemilih hantu“ hingga daftar pemilih yang mencurigakan. Apalagi sepekan sebelum pemilu, jajak pendapat menunjukkan bahwa oposisi unggul tipis. Meski lembaga polling Pusat Universitas Malaysia untuk Demokrasi dan Pemilu, saat itu mencatat angka undecided voters mencapai 22 persen.
Rupa-rupa Kecurangan
Sejumlah praktik kecurangan, dilaporkan masyarakat kepada media massa. Namun fakta-fakta meluas tentang itu sulit dibuktikan.
“Pada hari pemilihan, banyak warga asing yang ikut memilih,” kata Fathi Aris Omar Pemimpin Redaksi media independen www.malaysiakini.com kepada Deutsche Welle.
Warga asing yang dimaksud adalah buruh migran asal Indonesia, Bangladesh dan sejumlah Negara lain yang mencari nafkah di sana. Lewat proyek “Kartu Identitas”, penguasa memberi mereka status warganegara dengan barter mencoblos Barisan Nasional.
Mereka inilah yang dijuluki Anwar Ibrahim sebagai “pemilih hantu”.
Fathi mencatat, dalam pemilu kali ini muncul modus baru. Praktik kecurangan itu dilakukan dengan mencantumkan nama-nama orang yang tinggal di luar negeri atau kota lain, sebagai pemilih di suatu tempat.
“Ada sebuah keluarga yang telah lebih dua puluh tahun tinggal di suatu wilayah, terkejut karena tiba-tiba ada daftar nama-nama pemilih yang tidak ia kenal”.
Kecurigaan lainnya adalah double voting. Tinta pemilu untuk menandai jari pemilih yang telah menggunakan haknya, luntur setelah beberapa jam. Meski tak ada bukti jelas, tapi ini membuka peluang bagi orang yang sama untuk mencoblos dua kali.
Kelas Menengah vs Politik Lama
Selama setengah abad berkuasa, Barisan Nasional membangun politik otoritarianisme sambil pada tarikan nafas yang sama menjalankan politik perkauman atau kesukuan. Kekuasaan didirikan atas aliansi antara etnis mayoritas Melayu di UMNO dengan minoritas Cina di partai Malaysian-Chinese Association dan Partai Gerakan, serta keturunan India yang bernaung di bawah bendera partai Malaysian-Indian Congress.
Dalam pemilu ini, hanya etnik mayoritas Melayu yang tetap solid mendukung UMNO, sementara suara partai kelompok minoritas di kubu Barisan Nasional menyeberang ke oposisi.
Perdana Menteri Najib Razak menyebutnya sebagai “Tsunami Cina“.
Sebagai etnik terbesar kedua setelah Melayu, populasi keturunan Cina di Malaysia, diwakili hampir seperempat dari total jumlah pemilih. Perpindahan suara mereka adalah pukulan telak bagi Barisan Nasional.
“Ini akibat marjinalisasi suara kaum non Melayu dalam pemerintahan,” kata Abdul Ghapa Harun, pengamat politik senior dari Universiti Kebangsaan Malaysia kepada Deutsche Welle.
Selama ini, UMNO sebagai kekuatan dominan di Barisan Nasional ingin mengedepankan ras Melayu sebagai identitas nasional. Tak hanya itu, pemerintah juga menjalankan affirmative action bagi pengusaha pribumi Melayu untuk mendapat privilege atas proyek pemerintah.
Sebaliknya, Pakatan Rakyat menawarkan pengakuan atas identitas kelompok minoritas Cina dan India, serta berjanji membuka peluang yang sama diantara semua etnik untuk bersaing dalam bidang ekonomi.
“Inilah faktor penting yang menyebabkan kaum non Melayu, khususnya Cina, mencabut dukungan (dari Barisan Nasional-red),“ kata Harun.
Fathi Aris Omar melihat langkah komunitas Cina dan India yang kini pindah mendukung oposisi, bukan didasarkan oleh politik identitas.
”Kelas menengah perkotaan yang sebagian besar dari etnik Cina, dan juga yang berasal dari ras Melayu dan India, melihat oposisi lebih dekat dengan kepentingan kelas mereka,” kata Fathi sambil menjelaskan bahwa mereka ini adalah kaum terpelajar yang punya akses informasi dan memiliki kesadaran baru.
“Mereka menuntut lebih banyak kebebasan, pemberantasan korupsi, reformasi ekonomi, dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.”
Perubahan Kosmetik
Baik pemerintah maupun oposisi sadar bahwa rakyat Malaysia ingin udara segar. Karena itu mereka berlomba menawarkan perubahan sebagai tema kampanye.
Sang incumbent Perdana Menteri Najib Razak menggambarkan dirinya sebagai Tony Blair Malaysia: seorang reformis progresif dengan misi memodernkan negerinya. Najib, lulusan ekonomi industri Universitas Nottingham Inggris, membangun image itu dengan menyewa konsultan asal London yang dulu menjadi penasihat Blair, untuk memoles citra Barisan Nasional.
Tapi apa yang dicitrakan berbeda dengan yang dikerjakan. Empat tahun berkuasa, Najib menyia-nyiakan kesempatan untuk mengubah Malaysia.
“Perubahan yang ia janjikan hanya bersifat kosmetik,“ kata Fathi.
Dalam urusan pers, pemerintahan Najib tidak memberi jaminan mendasar bagi kebebasan. Usaha pemberantasan korupsi juga melemah. Dalam sejumlah kasus korupsi, Najib tidak menunjukkan ketegasan, sehingga rakyat melihat sang perdana menteri hanya bermain-main dengan retorika politik.
Era Baru
Selisih 44 kursi mungkin bukan sebuah jarak tipis yang memisahkan oposisi dengan Barisan Nasional. Tapi bagi Fathi Aris Omar dan Abdul Ghapa Harun, angka-angka hasil pemilu menunjukkan sebuah harapan.
“Jelas, ini kemenangan bagi masa depan Malaysia yang lebih cerah,“ pendapat Fathi Aris Omar, sambil menambahkan, “Semakin lama semakin banyak anak muda, kelas menengah yang melihat bahwa orientasi politik yang dibawa pemerintah, tidak lagi relevan dengan masa depan mereka“.
“Hasil ini menunjukkan secara jelas bahwa reformasi yang sesungguhnya tidak bisa lagi ditunda“ pungkas Fathi.
Sementara Abdul Ghapa Harun berpendapat bahwa hasil pemilu ini menunjukkan tidak ada satu etnis yang bisa memerintah sendirian di Malaysia tanpa dukungan dari suku-suku lain.
“Para pemimpin Barisan Nasional maupun Pakatan Rakyat harus menyadari bahwa mau tidak mau mereka harus bergeser ke politik inklusif, bukan politik ekslusif.”
Politik perkauman, tutup Harun, hanya akan menciptakan masalah bagi masa depan negeri itu.