Aktivis HAM Kecam Hukum LGBT Brunei
26 Maret 2019Brunei adalah negara pertama di Asia Tenggara yang mengajukan hukum pidana berasaskan hukum Syariah di tahun 2014 ketika negara tersebut mengumumkan tiga tahap pertama pada perubahan hukum. Cakupan amandemen tersebut termasuk pembayaran denda atau hukuman penjara atas pelanggaran seperti hamil di luar pernikahan atau melewatkan sholat Jumat.
Sebelumnya, homoseksualitas di Brunei dicap ilegal dan dapat dikenakan hukuman sampai 10 tahun penjara. Tetapi perubahan yang akan disahkan akan memperkenankan hukuman cambuk dan rajam sampai mati terhadap kaum Muslim yang terbukti bersalah atas tindakan asusila, sodomi, dan pemerkosaan.
Matthew Woolfe, pendiri asosiasi HAM The Brunei Project, menyampaikan bahwa pemerintah sempat menunda implementasi dua tahap dalam perubahan amandemen setelah mendapat reaksi keras dunia internasional di tahun 2014, namun akan melakukan pengesahan untuk kedua amandemen tersebut pada tanggal 3 April mendatang. "Kami berusaha untuk memberi tekanan pada pemerintah Brunei tetapi kami menyadari bahwa jangka waktu ini begitu singkat sampai hukum ini mulai berlaku,” kata Woolfe kepada Reuters.
Aktivis asal Australia itu mengatakan bahwa ketergesa-gesaan pemerintah atas perubahan amandemen ini sangat mencengangkan, karena sebelumnya belum ada pengumuman resmi selain pernyataan dari situs web Jaksa Agung pada Desember tahun lalu yang baru saja terungkap pekan ini.
"Implementasi penuh dari hukum syariah ini akan diterapkan pada hukuman berat atas hubungan seks sesama jenis, termasuk hukuman rajam sampai mati," konfirmasi Ryan Silverio, koordinator ASEAN SOGIE Caucus, organisasi hak asasi manusia yang berbasis di Manila.
Dede Oetomo, salah seorang aktivis LGBT asal Indonesia mengatakan bahwa perubahan amandemen tersebut akan menyebabkan pelanggaran HAM internasional. "Mengerikan sekali, Brunei meniru negara-negara Arab yang paling konservatif,” ujarnya.
Perdana Menteri Brunei belum memberi tanggapan atas permasalahan ini. (rtr) ck/yp