Alat Bantu Pernafasan, Untuk Siapa?
28 Maret 2020Sekitar 20 persen pasien yang terinfeksi virus corona SARS-CoV-2 terserang saluran pernafasan bagian bawahnya, termasuk paru-paru. Kondisi pasien bisa dengan cepat menjadi kritis. Dalam kasus berat, pasien harus dirawat di ruang intensif dan diberi alat bantu pernafasan.
Masalah yang muncul adalah terbatasnya jumlah ranjang perawatan yang dilengkapi mesin alat bantu pernafasan atau respirator. Negara industri maju di Eropa seperti Italia dan Spanyol menunjukkan gawatnya problem di saat krisis wabah virus corona. Tugas dokter kini bertambah, dengan harus menentukan, pasien mana yang mendapat alat bantu dan mana yang tidak.
Siapa yang mendapat prioritas dibantu?
Alat bantu pernafasan sangat dibutuhkan, jika pernafasan spontan alamiah tidak lagi mampu memberikan asupan oksigen dan mengeluarkan CO2 atau karbon dioksida dari paru-paru.
Pernafasan buatan dibantu mesin bisa menyelamatkan nyawa. Jika pernafasan alami terhenti, organ tubuh terpenting tidak lagi mendapat asupan oksigen. Dalam waktu bersamaan, karbon dioksida tidak lagi dikeluarkan lewat paru-paru.
Dalam waktu singkat setelah pernafasan terhenti, jantung juga akan berhenti berdetak. Sirkulasi darah dan metabolisme berhenti. Pasien akan meninggal dalam hitungan menit.
Pasien dalam kondisi gawat darurat dan nyawa pasien terancam seperti itulah yang mendapat prioritas alat bantu pernafasan. Asosiasi dokter Jerman telah tetapkan pedoman hidup atau mati pasien corona.
Bagaimana cara kerjanya?
Alat bantu pernafasan bekerja dengan memompa udara bertekanan yang mengandung oksigen ke paru-paru dan mendesak cairan dari alveoli paru-paru ke luar.
Prinsipnya terdengar sederhana, tapi teknik perawatan medisnya sangat rumit. Mesin alat bantu pernafasan modern, bisa disesuaikan dengan profil pernafasan pasien yang memerlukannya.
Pada alat bantu pernafasan dengan tekanan terkontrol, mesin respirator menyetel tekanan sedemikian rupa ke saluran pernafasan dan paru-paru, agar sebanyak mungkin oksigen dapat diserap. Jika tekanan sudah cukup, pengeluaran nafas dimulai. Respirator praktis mengambil alih proses pernafasan pasien.
Lazimnya udara dialirkan dengan bantuan masker yang kedap udara, yang dipasang di area mulut dan hidung pasien. Jika kasusnya sangat parah, biasanya selang alat bantu pernafasan dimasukkan langsung ke saluran pernafasan, dengan cara melubangi leher atau tindakan trakeotomi.
Karena prosedurnya menyakitkan, pasien biasanya harus dibius dan direkayasan ke kondisi koma buatan.
Mengapa terjadi kelangkaan alat respirator?
Dalam situasi krisis wabah virus corona, permintaan alat respirator meningkat drastis. Banyak negara di Eropa yang tergolong maju, sistem kesehatannya tidak siap menghadapi krisis yang memerlukan alat bantu pernafasan dalam jumlah banyak dalam waktu bersamaan.
Mesin canggih untuk membantu pernafasan di sektor kedokteran gawat darurat, yang harga satu unitnya ada yang mencapai 50.000 euro atau sekitar 750 juta rupiah tidak bisa dibeli begitu saja di pasar bebas. Perusahaan yang memproduksi alat bantu pernafasan canggih, yang bisa memperkaya darah pasien dengan oksigen yang disebut ECMO juga tidak banyak jumlahnya di seluruh dunia.
Perusahaan pembuat alat bantu pernafasan sedunia juga sudah menggenjot kapasitas produksinya sampai taraf maksimal. Tapi wabah juga melumpuhkan rantai pemasokan suku cadang dan peralatan seperti selang pernafasannya.
Selain itu, bukan hanya kekurangan alat, kekurangan tenaga ahli juga sangat terasa. Di masa krisis wabah Covid-19, para ahli yang bisa mengoperasikan respirator bekerja tanpa henti melayani pasien-pasien gawat darurat yang jumlahnya terus naik tiap hari.
Alexander Freund (as/ae)