Piala Dunia U17 mulai menyodorkan kegilaan. Sebenar-benarnya.
Di Jakarta Internasional Stadium (JIS), Brasil yang prima, leading 2-0, lalu dikick balik Iran 3-2.
Sebelumnya, juga di JIS, Inggris mengiris Kaledonia Baru tanpa ampun: 10-0.
Mencengangkan? Belum. Maklum level Kaledonia Baru, memang, tiga kelas di bawah The Young Three Lions.
Yang mencengangkan justru terjadi di Stadion Si Jalak Harupat (SJH) Bandung: Argentina yang pegang kendali justru bertekuk lutut pada Senegal, jawara Afrika.
Dominasi Tango Muda lewat ball possession, melalui serangan, jumlah shot on goal serta sepak pojok, tak berarti apa-apa buat Senegal.
Dan saya harus menyebut nama ini lagi: Amara Diouf, bocah cilik berusia 15 tahun dengan ban kapten di lengannya, yang melesakkan dua gol ke gawang Gabriel Diaz.
Dua gol Diouf yang keren, yang hanya bisa dibalas via free-kick Fabian Ruberto meski tetap tidak bisa menyelamatkan Argentina.
Dua gol itu pula yang membawa Diouf terpilih sebagai Man of the Match pilihan Tim Technical Group FIFA pimpinan Arsene Wenger.
Dan Diouf pantas mendapatkannya. Dia beraksi 90 menit plus (9), dengan 51 sentuhan, 68 akurasi operan, plus satu gol dari dalam arena penalti dan satu gol dari luar.
Ini catatan hebat Diouf, yang memang sudah menonjol di region Afrika: top skor dengan lima gol serta trofi juara buat Senegal.
Diouf pula, bersama Mamadou Doumbia, pencatat hattrick pertama saat Mali menggulung Uzbekistan di Solo, jadi potret penting Afrika di pagelaran Piala Dunia U17 ini.
Saya juga tidak melupakan Maroko, yang juga tampil impresif di Surabaya.
Dalam skuad Maroko ada Anas Aloui, ada juga Saifdine Chlaghmo yang mengandaskan Panama 2-0.
Mereka-mereka itulah yang membawa panji Afrika di Indonesia.
Hardimen Koto: pengamat, analis dan komentator sepak bola
*tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis.
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.