Ambil Ajarannya, Tinggalkan Budayanya
3 Oktober 2016Salah satu faktor yang menjadi sumber konflik, ketegangan, dan bahkan kekerasan di masyarakat, khususnya masyarakat dimana agama menjadi komponen dominan, bukan "masyarakat sekuler”, adalah karena adanya dorongan kuat untuk mengagamakan orang atau komunitas lain "secara total, komprehensif dan menyeluruh” atau "secara kaffah” menurut istilah sejumlah kelompok "Islam kota” belakangan ini.
Yang dimaksud dengan "beragama secara total, komprehensif dan menyeluruh” adalah cara atau model beragama yang tidak hanya mempraktikkan nilai, doktrin, ajaran dan norma-norma keagamaan saja tetapi juga menerapkan tradisi dan kebudayaan darimana "agama-agama impor” itu berasal.
Meskipun sebetulnya dalam realitasnya, semua itu hanyalah klaim omong-kosong belaka karena memang tidak mungkin alias mustahil seseorang atau pemeluk agama bisa beragama secara kaffah.
Bagaimana mungkin seorang pengikut agama bisa mempraktikkan sebuah agama secara kaffah sementara agama bersangkutan berisi ribuan doktrin, dogma, norma, ajaran, tata-nilai, etika, dan sebagainya yang tersimpan di dalam Kitab Suci dan ribuan teks-teks klasik keagamaan serta dokumen-dokumen historis-keagamaan lainnya?
Yang bisa (dan "realistis”) dilakukan oleh seorang pemeluk agama tentu saja mengamalkan sebagian saja (baik sebagian besar maupun kecil ,tergantung kualitas keagamaan dan keimanan seseorang) dari ajaran agama itu.
Benturan agama atau budaya?
Hal lain yang juga penting untuk dicermati, apa yang sering dipersepsikan oleh banyak pihak sebagai sebuah "benturan antaragama”, pada kenyataannya sering kali lebih pada "benturan antarkebudayaan” antarpemeluk agama itu.
Ini tentu saja jika kita memahami agama sebagai sebuah "entitas otonom” yang berbeda dari budaya. Karena dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi dan sosiologi, agama dipandang sebagai bagian dari sistem kebudayaan masyarakat atau "konstruksi sosial” umat manusia.
Dengan kata lain, agama adalah bagian dari produk kebudayaan atau "kreasi kreatif” manusia, bukan "produk kebudayaan” Tuhan yang turun dari langit.
Fenomena tentang "benturan antarkebudayaan” para penganut agama ini dengan jelas terlihat di Indonesia, Malaysia dan berbagai negara lain yang unsur-unsur agamanya kuat di satu sisi, sementara di sisi lain "payung hukumnya” tidak mumpuni untuk melindungi keanekaragaman agama.
Para pengusung agama-agama impor, khususnya Islam dan Kristen, sering kali bukan hanya memperkenalkan kepada orang lain ajaran-ajaran normatif keagamaan, melainkan juga memboyong tradisi-kebudayaan asal-muasal agama (atau sekte/aliran agama) itu kepada masyarakat dimana mereka tinggal.
Misalnya, di Indonesia, sejumlah kelompok Kristen Pentacostal, Mormon dan lainnya terlihat jelas mengusung "Kristen ala Amerika”. Banyak pula gereja-gereja di Indonesia, kaum Kalvinis dan Lutheran misalnya, yang "bercita rasa” Eropa (Belanda misalnya) meskipun nama-nama persekutuan gereja mereka menggunakan nama-nama lokal (Batak, Ambon, dlsb) atau bahkan nama negara di Timur Tengah, misalnya Gereja Kristen Ortodoks Suriah.
Sebagian umat Katholik di Indonesia juga "meng-Eropa”, khususnya "kultur Roma”. Umat Islam juga sama. Banyak kaum Muslim yang eforia dengan budaya Arab, meskipun mereka tidak paham Arab bagian mana mengingat ada sekitar 22 negara yang tergabung dalam Liga Arab.
Bagi sebagian kaum "Muslim kota” yang sedang "berbulan madu” dengan Islam, mereka mengimajinasikan "Islam yang otentik” itu yang "Islam (ala) Arab”, selebihnya "Islam tidak murni.” Ada pula sebagian kaum Muslim yang bergembira ria mengamalkan Islam ala Indo-Pakistan atau ala Turki.
Pernak-pernik tradisi dan budaya
Bagi sebagian kelompok ini, menjadi Muslim atau Kristen tidak cukup hanya dengan "dibaptis” (bagi umat Kristen) atau membaca "kalimat syahadat” (bagi umat Muslim, yakni peneguhan tentang keesaan Tuhan dan kenabian Muhammad) saja, melainkan juga harus mengamalkan pernik-pernik tradisi-kebudayaan yang menempel dalam agama itu agar menjadi "lebih Islami” atau "lebih Kristiani.”
Islam dan Kristen adalah dua agama misionaris yang sama-sama kuat ajaran dakwahnya. Banyak pengikut kedua agama yang sama-sama berasal dari rumpun agama Semit di Timur Tengah ini, khususnya mereka yang terjangkit "overdosis fanatisme”, yang begitu bersemangat mengkristenkan dan mengislamkan orang lain. Meskipun, lagi-lagi, dalam praktiknya mereka tidak sekedar mengkristenkan atau mengislamkan orang lain tetapi mengkristenkan atau mengislamkan menurut mazhab, aliran, denominasi, kongregasi, sekte, dan organisasi Kristen atau Islam yang mereka anut. Menjadi Islam atau Kristen saja, bagi mereka, tidak cukup. Harus diembel-embeli dengan Kristen ini-itu atau Islam ini-itu.
Memang tidak mudah untuk memilah-milah mana yang merupakan ajaran normatif agama dan mana yang tradisi-kebudayaan karena keduanya campur-baur dalam sebuah Kitab Suci dan teks-teks keagamaan. Ada banyak hal yang sebetulnya merupakan tradisi masyarakat dimana agama (atau sekte agama) itu lahir kemudian menjadi bagian dari norma keagamaan.
Budaya dijadikan norma atau dogma
Dengan kata lain, ada banyak kebudayaan yang telah "diagamakan” (ada pula agama yang kemudian "dibudayakan”) setelah melalui proses sosial-politik-kultural yang begitu panjang dan rumit. Begitu pula, kebudayaan itu telah menjelma menjadi "norma” atau "dogma” setelah adanya intervensi dari tangan-tangan kelompok literati agama (ulama, pendeta, pastor, dlsb).
Oleh karena itu, melihat peliknya persoalan ini, umat beragama perlu menggarap kerja intelektual serius untuk memahami atau memilah-memilah mana agama dan mana tradisi-budaya, agar mereka tidak "mendogmakan” sesuatu yang sebetulnya hanya sebuah budaya saja bukan bagian substansial dari ajaran agama.
Bagi saya, tindakan paling baik dan bijak umat beragama adalah mengambil "spirit ajaran” fundamental-universal sebuah agama itu tanpa harus mengikutsertakan tradisi kebudayaan masyarakat agama (atau sekte/aliran agama) tertentu yang bersifat lokal-partikular. Lebih jelasnya, untuk menjadi "Muslim sejati” tidak perlu "menjadi Arab atau Timur Tengah.” Dan untuk menjadi "Kristen otentik” tidak perlu "menjadi Eropa, Amerika atau Timur Tengah”.
Saya ingin mengajak umat beragama di Indonesia untuk menjadi "Muslim Indonesia”, "Kristen Indonesia”, "Budha Indonesia”, "Konghucu Indonesia” dan seterusnya, yakni sah-sah saja kita menjadi pemeluk "agama-agama impor” itu tetapi pada saat yang bersamaan hendaknya tetap menjaga dan merawat kekayaan khazanah adat, tradisi dan kebudayaan Nusantara warisan para leluhur bangsa (yang dipandang baik dan positif serta membawa kemaslahatan masyarakat tentunya. Bukan malah mengkampanyekan untuk memusnahkan khazanah budaya Nussantara karena dicap "tidak Islami” atau "tidak Kristiani” misalnya.
Dalam hal ini, umat Hindu Indonesia (khususnya Jawa dan Bali, simak misalnya beberapa karya Robert W. Hefner) cukup menarik untuk dicermati dan saya kira tidak ada salahnya untuk jadi contoh bagi umat lain karena mereka tetap menjadi "Hindu Indonesia” (Hindu Jawa atau Hindu Bali) bukan "Hindu (ala) India”. Kehinduan umat Hindu Indonesia berbeda secara substansial dengan kehinduan umat Hindu India, misalnya dalam hal sistem kasta dan juga dalam hal perawatan ajaran-ajaran dan tradisi-kebudayaan Hindu Nusantara.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta penulis buku Religious Violence and Conciliation: Christians and Muslims in the Moluccas (London & New York: Routledge, 2016). Ia memperoleh PhD dari Boston University.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.