Amerika Jelang Pertarungan Dua Dinasti Politik?
16 Juni 2015
Tidak sekalipun Hillary Clinton, tidak pula Jeb Bush, mampu mengawali kampanye menuju pemilu kepresidenan November 2016 dengan cakap. Hari-hari terakhir ini keduanya tampil gugup. Hampir kaku lantaran persiapan berlebihan oleh para penasehat dan terkesan dipaksa melafalkan bait-bait pidato yang telah disapkan sebelumnya.
Tentu saja jalan panjang berliku masih menghadang. Pertama, kedua kandidat yang berasal dari dinasti politik paling berpengaruh di AS itu harus mengamankan dukungan dan nominasi di partaipasing-masing.
Cuma jika Hillary dan Jeb mampu menyingkirkan para pesaing di kubu sendiri, kita bisa berbicara mengenai pertarungan antara dua dinasti. Klan Bush pernah mengusung dua presiden, sementar Cllinton baru diwakili oleh Bill.
Bill Clinton yang populer di awal 1990an, akan menjadi faktor besar dalam kampanye Hillary. Tapi George W. Bush yang mengarsiteki perang di Afghanistan dan Irak, justru menjadi figur yang kontroversial buat Jeb.
Pendiri klan Bush, George H. W. yang menduduki Gedung Putih antara 1988 hingga 1992, lebih diingat sebagai wakil Ronald Reagan ketimbang presiden AS. Kekalahannya dari Bill Clinton, hanya dua tahun setelah Perang Irak yang ia gagas sendiri, membuatnya lebih jinak di depan publik ketimbang reputasi George W. yang bisa mencederai kampanye Jeb.
Tapi publik tidak melihat masa lalu ketika memilih pemimpin. Mereka melihat isi kantungnya sendiri, mempertimbangkan prospek di pasar tenaga kerja dan standar kemakmuran masing-masing. Bill pernah berucap di depan penasehatnya pada 1992 soal strategi kampanye Demokrat, "ini tentang ekonomi, bodoh!" Hal serupa bisa diamati pada 2016.
Hillary yang kendati pernah menjadi ibu negara berpengaruh dan oleh banyak orang dianggap seorang menteri luar negeri yang handal, ia tidak pernah memimpin pemerintahan atau berurusan dengan masalah ekonomi dalam skala besar. Fakta bahwa ia bisa menjadi presiden perempuan pertama di AS juga tidak banyak membantu.
Harapan terbesar Clinton ada pada serikat buruh. Penelitian mengindikasikan, kandidat yang bergantung pada kelompok pemilih yang sama dengan presiden sebelumnya, akan kehilangan empat persen suara pada pemilu. Artinya Clinton harus memperluas pengaruhnya di luar koalisi pelangi Obama yang terdiri atas kelompok Afrika-Amerika, Hispanik dan kaum liberal.
Hillary berbuat bijak dengan mengritik rencana Trans-Pasific Partnership yang digagas Obama dan diyakini akan memusnahkan lapangan kerja di AS. Kritiknya itu muncul di sela-sela pidatonya tentang kemakmuran dan demokrasi yang harus bisa diakses oleh semua warga Amerika.
Tapi Clinton juga harus menjaring dukungan pemilih di garis tengah karena di sanalah pemilu dimenangkan. Dengan Partai Demokrat yang kian bergerak ke arah kiri, tugasnya tidak menjadi lebih mudah.
Jeb Bush sebaliknya pernah sukses menjadi gubernur Florida antara 1999 hingga 2007. Selama masa jabatannya itu ia mampu membangun reputasi sebagai pakar keuangan yang solid dan berhasil menjalankan reformasi pendidikan.
Ia berupaya menjaga jarak dari era kepresidenan George W. Bush. Tapi saat yang bersamaan Jeb banyak melibatkan keluarga dalam kampanye, termasuk kedua orangtuanya. Betapapun juga, putra kedua Bush senior itu adalah kandidat satu-satunya Partai Republik yang mampu menjawab aspirasi kelompok tengah yang meragukan kecakapan Hillary.
Jalan masih panjang buat kedua kandidat. Tapi perekembangan terbaru ini menjanjikan persaingan yang ketat buat menduduki jabatan paling berkuasa di muka Bumi.
*Grahame Lucas adalah editor senior Deutsche Welle dan kini memimpin Departemen Asia Selatan dan Tenggara.