AI Desak Pemerintah Baru Jokowi Hapuskan Hukuman Mati
3 Juni 2019Amnesty International mencatat, jumlah pelaksanaan eksekusi mati di dunia terus menurun. Pada tahun 2016, angkanya masih di atas 1.000 kasus eksekusi, pada tahun 2017, jumlah tersebut kemudian menurun menjadi di bawah seribu eksekusi.
Namun, situasi di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Berbincang dengan Deutsche Welle, aktivis Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat menjabarkan jumlah vonis hukuman mati di Indonesia masih banyak setiap tahunnya. Pemerintahan baru Jokowi diharapkan dapat melakukan perubahan.
Deutschw Welle (DW): Amnesty International semakin gencar memberi tekanan bagi pemerintah untuk mengubah kebijakannya soal hukuman mati. Seberapa mengkhawatirkannya situasinya sekarang?
Papang Hidayat (PH): Ini salah satunya karena sejak 2015 sampai 2016, Indonesia telah melakukan eksekusi mati ulang sebanyak tiga gelombang terhadap 18 orang, dan jumlah ini agak mengkhawatirkan, karena dibanding periode pemerintahan sebelumnya, di bawah Presiden Yudhoyono, dalam 10 tahun itu, 22 orang dieksekusi mati, jadi pemerintahan Jokowi dalam waktu dua tahun itu sudah mendekati 18 orang dan dia sebetulnya membuat satu langkah yang kontroversial di mata aktivis HAM dengan mengumumkan bahwa dia akan mengeksekusi mati terpidana kasus narkotika. Jadi dia bilang bahkan dia tidak mau mempertimbangkan pemberian grasi terhadap terpidana mati untuk kasus narkoba. Nah, ini tentu saja sangat bermasalah buat isu hak asasi manusia tapi juga secara politik juga bermasalah.
DW: Dapat Anda jelaskan pengaruhnya di bidang politik?
PH: Karena salah satu prioritas pemerintah Indonesia di kementrian luar negerinya adalah menjamin semua warga negara Indonesia untuk terhindar dari eksekusi mati, jadi ada kebijakan politik yang bertolak belakang. Untuk komunitas luar negeri, dia minta penolakan hukuman mati buat WNI, tetapi di dalam negeri, hal itu justru dilanjutkan. Nah, untungnya semenjak tahun 2016, belum lagi berlanjut eksekusi mati, tapi masih ada catatan Amnesty International yang mengkhawatirkan adalah vonis hukuman mati itu masih banyak setiap tahunnya.
DW: Apa sebetulnya yang melatarbelakangi pemerintahan Joko Widodo bisa melakukan eksekusi yang mana dalam pemerintahan SBY sendiri tidak sebegitu banyaknya? Apakah tekanan dari partai atau kelompok-kelompok tertentu?
PH: Untuk tahun 2015 itu ada kesan Presiden Jokowi ingin menunjukkan ke publik, dia adalah presiden yang tegas, karena di awal 2015 itu, dia menghadapi masalah berhadapan dengan koalisi partai politik di parlemen yang lebih banyak beroposisi dengan dia. Kedua, secara bersamaan, dia memiliki masalah internal dengan partainya sendiri, PDI Perjuangan, untuk mendefinisikan apakah dia petugas partai atau dia presiden. Nah, kesannya dia ingin menunjukkan ke publik, baik itu internasional maupun nasional, bahwa dialah penguasa di Indonesia dengan membuat langkah kontroversial mau mengeksekusi mati orang dan kebanyakan mereka-mereka yang masuk daftar dalam daftar orang yang akan dieksekusi itu adalah kebanyakan warga negara asing. Jadi dia ingin menunjukkan bahwa dia berani.
DW: Apakah tidak ada langkah yang bisa seharusnya diambil untuk mengubah situasi ini sehingga pemerintah Indonesia bisa bergerak ke arah menentang kebijakan hukuman mati, mengingat negara-negara lain sudah bergerak ke arah sana?
PH:: Inilah yang mengkhawatirkan, Indonesia mau menampilkan citra modern, dia di komunitas internasional sebagai negara muslim terbesar di dunia tapi ramah terhadap demokrasi dan HAM. Hukuman mati tentu saja bermasalah karena menurut catatan Amnesty Intrenational itu hanya sekitar 20-an negara yang melakukan eksekusi mati setiap tahun. Indonesia tentu saja akan menjadi buruk catatan rekornya di situ. Tapi ada peluang di mana masyarakat sipil itu bekerja keras untuk meyakinkan pemerintahan Jokowi bahwa hukuman mati itu bukanlah solusi melawan kejahatan. Bahkan, beberapa upaya itu cukup berhasil dengan membuat beberapa nama orang yang ingin dieksekusi mati itu terhindarkan di detik-detik terakhir dengan menampilkan berita soal Mary Jane, seorang perempuan Filipina yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kemungkinan human trafficking. Ada juga terpidana mati perempuan WNI yang ceritanya mirip seperti Mary Jane, dan akhirnya itu bisa juga mengubah Jokowi di detik-detik terakhir tidak melanjutkan eksekusi mati. Di lain pihak, banyak lembaga non organisasi pemerintah (LSM/NGO) bekerja keras mempersoalkan vonis hukuman mati dengan berbagai cara. Ada lembaga, yang namanya Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, telah menggugat putusan hukuman mati ke ombudsman dan menang. Jadi sebetulnya, jaksa agung dinyatakan ilegal mengeksekusi mati.
Ada lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS). Itu dia bahkan bekerja sama dengan komunitas forensic medis, dan bisa menemukan ada skandal dalam proses peradilan terhadap terpidana mati yang ternyata masih anak-anak, tetapi usianya dipalsukan. Akhirnya, di Mahkamah Agung hukumannya (dikurangi) dari hukuman mati menjadi lima tahun. Nah, ini menjadi semacam contoh bahwa di Indonesia banyak sekali, dan ini didukung riset Amnesty International, banyak putusan-putusan vonis hukuman mati itu bermasalah. Terakhir nampaknya, ada pembisik Jokowi yang memberikan masukan seperti itu. Di akhir gelombang eksekusi mati ketiga., dari 14 orang hanya empat orang yang dieksekusi dan kemudian Kejaksaan Agung menyatakan dia siap mengkaji vonis terpidana mati itu. Tapi sayangnya sampai sekarang, dua tahun kemudian belum ada putusan hasilnya. Review-nya, apakah dari sebanyak itu vonis hukuman mati ada masalahnya di mana, dia belum umumkan ke publik.