Keluarnya AS dari Kesepakatan Iklim Paris Menuai Kritik
5 November 2019Amerika Serikat (AS) menjadi negara pertama yang menarik diri dari kesepakatan iklim Paris, yakni perjanjian antara negara-negara PBB untuk membatasi polusi dan emisi gas rumah kaca, serta mengatasi masalah perubahan iklim lainnya, di Paris tahun 2015.
Pada Senin (04/11), Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengajukan pemberitahuan resmi kepada PBB untuk memulai proses penarikan negaranya selama satu tahun.
“Kami (AS) bangga atas tindakan kami sebagai pemimpin dunia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan ketahanan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memastikan energi bagi warga negara kami. Tindakan kami adalah contoh yang nyata dan bermanfaat bagi banyak pihak," tulis Pompeo di Twitter.
Saat menghadiri pameran dagang di Cina, Selasa (05/11), Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan masing-masing negara harus meningkatkan komitmennya untuk mengurangi emisi, dan menghadirkan energi terbarukan.
"Kerja sama antara Cina dan Uni Eropa dalam hal ini sangat menentukan," kata Macron. "Tahun depan, kita perlu secara kolektif menyukseskan agenda peningkatan upaya ini."
Baca juga: Dewan Pakar: Iklim dan Keamanan Pangan Terancam, Manusia Harus Berubah
Seorang asisten Presiden Macron, yang juga ikut berkunjung ke Cina, mengatakan langkah AS menarik diri dari kesepakatan iklim Paris memang telah telah diprediksi.
"Kami menyesali hal itu, dan ini justru membuat kemitraan Prancis-Cina terhadap penanganan perubahan iklim dan keanekaragaman hayati menjadi lebih penting," ujar asisten yang menolak disebutkan namanya ini.
Ia juga menambahkan, Macron dan Presiden Cina, Xi Jinping, akan menandatangani perjanjian baru yang menegaskan tidak boleh ada negara yang keluar dari kesepakatan iklim Paris. Keduanya akan mengadakan pertemuan resmi di Beijing, pada hari Rabu (06/11).
Mengingkari janji Obama
Seperti negara-negara anggota PBB lainnya, sebelumnya AS juga menyetujui kesepakatan yang dibuat tahun 2015 tersebut. Di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, AS berjanji untuk memotong sebanyak 26-28 persen emisi gas rumah kaca mereka dibandingkan dengan tahun 2005 lalu. Rencana ini pun ditargetkan tercapai tahun 2030.
Namun, berbeda pandangan dengan pendahulunya, kini Donald Trump justru berulang kali mengecam perjanjian itu berbahaya bagi ekonomi AS.
"Apa yang tidak akan kami lakukan adalah menyusahkan orang-orang Amerika, sementara para pencemar iklim pihak asing memperkaya diri," ujar Trump saat menghadiri konferensi industri gas berbentuk serpihan di Pennsylvania, bulan lalu.
Sebelum mencalonkan diri sebagai Presiden AS, Trump sempat mengatakan pemanasan global adalah "tipuan yang dilakukan oleh Cina."
Aktivis mengharapkan perubahan
Hanya beberapa hari setelah Trump memenangkan pemilu AS di tahun 2016, pemerintah telah meratifikasi kesepakatan iklim Paris, pada bulan November di tahun yang sama. Aturan kesepakatan tersebut menyatakan AS harus menunggu tiga tahun sebelum secara resmi menarik diri. Namun saat ini sebuah tim telah dibentuk untuk mengurus segala proses teknis terkait penarikan diri AS.
Nantinya, penarikan AS dari kesepakatan iklim Paris akan selesai pada 4 November 2020, tepat satu hari setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) berikutnya diadakan.
Para aktivis lingkungan di AS berharap Trump gagal dalam Pilpres tahun depan. Mereka ingin Trump diganti oleh kandidat presiden dari Partai Demokrat, yang sebelumnya telah berjanji untuk mempertahankan kesepakatan iklim Paris jika menang.
"Presiden berikutnya perlu bergabung kembali dalam perjanjian iklim Paris, dan berkomitmen terhadap penyelesaian tuntutan perubahan iklim, dengan menghadirkan transformasi energi bersih yang dilakukan secara cepat dan luas," ujar Jean Su, Direktur Energi Pusat Keragaman Hayati, yang berkedudukan di AS.
"Trump bisa keluar dari kesepakatan iklim Paris, tetapi tidak bisa bersembunyi dari krisis perubahan iklim," katanya.
AS dan Cina adalah penghasil karbon dioksida terbanyak bila dibandingkan dengan negara mana pun di dunia.
pkp/ae (Reuters, AP)