Iklim Demokrasi Indonesia Merosot Pasca Pilkada DKI 2017
2 Februari 2018Indonesia tergolong negara yang paling banyak mengalami kemerosotan dalam Indeks Demokrasi 2017 versi Economist Intelligence Unit. Posisi Indonesia dalam daftar tahunan yang dirilis Kamis (1/2) tersebut merosot 20 peringkat dari 48 ke 68. Pilkada DKI Jakarta yang dipenuhi ujaran kebencian dan fitnah ditengarai menjadi penyebab utama.
"Demokrasi di Indonesia anjlok menyusul Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, dimana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berasal dari minoritas dipenjara atas dugaan penistaan agama," tulis The Economist dalam laporan tersebut.
"Vonis Ahok menjadi nila pada prinsip Sekularisme Indonesia yang tertera dalam Pancasila dan mendemonstrasikan betapa pasal Penistaan Agama tidak hanya digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat, tetapi juga menahan aktor politik."
Kasus hukum Ahok dinilai mengungkap "kebenaran muram tentang hak minoritas di nusantara."
Ujaran kebencian dan tindak intoleransi sebenarnya pertamakali muncul pada Pemilu Kepresidenan 2014, namun kian marak selama Pilkada DKI Jakarta 2017 silam. Kampanye politik identitas yang dilancarkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dinilai turut membumbui sikap anti pemimpin non-muslim di ibukota.
Dengan mengobarkan sentimen keagamaan, pasangan tersebut sukses menggusur gubernur yang memiliki tingkat kepuasan kinerja sebesar 87,2%.
Politik identitas berbasis agama tidak hanya digunakan oleh pasangan Anies dan Sandiaga, melainkan juga pasangan Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni. Kepada Kompas Peneliti Lembaga Ilmu Pengetauan Indonesia (LIPI), Sri Yanuarti, mengakui adanya "upaya politisasi agama" selama Pilkada.
"Bahkan untuk menggiring salah satu pasangan calon untuk tak membahas program kerja, tapi supaya dia menanggapi isu agama itu," ujarnya tidak lama setelah Pilkada DKI.
Baca juga:Mengurai Rasa Bosan Atas Pilkada
Hal senada diungkapkan Hendardi, Direktur Setara Institute. "Pada mulanya banyak pihak yang beranggapan bahwa politisasi identitas agama, ras, golongan adalah sebatas strategi destruktif pasangan Anies Sandi untuk memenangi kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Artinya politisasi identitas itu hanya untuk menundukkan lawan politik dan menghimpun dukungan politik lebih luas, hingga memenangi Pilkada," ujarnya setelah pelantikan gubernur baru seperti dikutip Tribunnews.
rzn/ap (EIU, Kompas, Tribunnews, Jakartapost, Detik)