Apakah Eropa kini menjadi sasaran khusus para teroris islamis internasional?
24 Oktober 2008Thomas De Maiziere, pejabat kekanseliran untuk urusan dinas rahasia menyebut, Jerman khususnya memang harus selalu bersiaga menghadapi kemungkinan serangan teroris.
Para peserta sepakat, ancaman serangan jaringan teror Al Qaida yang paling harus diwaspadai adalah yang datang dari cabang Afrika Utara, atau banyak dikenal sebagai Al Qaida sayap Magribi. Disebutkan, cabang khusus Al Qaida ini berupaya mengembangkan sayap ke Afrika Barat dan Eropa. Mereka berusaha merekrut para anggota baru dan membangun sel-sel rahasia. Dan menyiapkan berbagai serangan teror di berbagai negara Afrika Barat dan Eropa. Padahal, menurut Kepala Dinas Rahasia Jerman Ernst Uhrlau, tanpa itu pun, di daratan Eropa serangan-serangan teror telah terajdi sebelumnya.
Diungkapkan Ernst Uhrlau, “Para pelaku serangan teror Madrid diradikalisasi di Spanyol. Para pelaku teror London, hampir semuanya lahir di Inggris. Begitu juga para teroris yang dibongkar dan ditangkapi September tahun 2007 - para anggota anggota Serikat Jihad Islam dan kelompok Sauerland dan sekitarnya. Kasus-kasus ini membuat rakyat Jerman mengalami semacam guncangan psikologis yang hebat. Karena perencanaan serangan-sertanagn teror itu juga ternyat melibatkan orang-orang Jerman asli yang pindah agama.“
Yang membedakan generasi teroris terdahulu dengan sekarang adalah latar belakang lingkungan sosialnya. Berbeda dengan kaum radikal sebelumnya, kaum teroris generasi baru sebagian besar tidak lahir atau dibesarkan dari lingkungan keagamnaan yang ketat. Demikian disebutkan Volker Perthes, ahli keislaman dan Ketua Lembaga Penelitian Ilmu Politik Jerman. Dikatakan Volker Perthes, mereka sebagian besar bukan orang yang benar-benar alim. Keterlibatan mereka dalam gerakan Islam radikal lebih banyak disebabkan oleh frustrasi atas ketidak-adilan dan perasaan tidak dihormati.
Lebih jauh dikatakan Volker Perthes, “Mayoritas orang di dunia Muslim dan Arab, bukanlah kaum radikal, bukan pula kaum pendukung kekerasan. Namun kita harus berurusan dengan setidaknya suatu generasi muda yang marah, yang kemarahannya bisa diluapkan dalam penggunaan kekerasan. Manusia bukan cuma digerakkan oleh kerakusan sebagaimana banyak dibicarakan di masa krisis moneter ini. Manusia juga membutuhkan penghargaan, martabat dan keadilan. Dan mereka bisa meledak dalam kemarahan, jika mereka merasa tidak mendapatkannya.“
Menurut Perthes, sungguh merupakan ilusi bahwa kita bisa memenangkan perang melawan teror hanya dengan jalan militer. Yang juga mutlak harus dilakukan oleh negara-negara Barat menurutnya antar lain bekerja sama dengan negara-negara Muslim, khususnya dengan kelompok-kelompok moderat dan damai di negara-negara itu. Bahkan terkadang dengan gerakan-gerakan konservatif. Karena di beberapa tempat khusus, tanpa hubungan dengan mereka, hampir mustahil bisa dicapai keamjuan. Misalnya di Palestina dan di Pakistan.
Sementara itu Ayyub Axel Köhler, Ketua Dewan Muslim Jerman, badan yang serupa dengan Majelis Ulama, menunjuk fakta, sebagian besar korban aksi teroris Islamis adalah umat Islam sendiri. Menurut tokoh Islam yang asli Jerman ini: “Kami umat Islam menjadi korban prasangka. Seakan kami merupakan anggota komplotan teroris Islam sedunia. Padahal kami kaum Muslim juga cemas terhadap terorisme. Persis seperti setiap orang lain di negeri ini. Kita sesungguhnya berada dalam perahu yang sama.“