Liga Sepak Bola Perempuan Saudi, Reformasi atau Pencitraan?
29 Februari 2020Para pejabat Kerajaan Arab Saudi baru-baru ini mengumumkan liga sepak bola perempuan pertama di negara itu. Langkah ini merupakan bagian dari serangkaian reformasi guna menyeimbangkan elemen konservatif dan liberal dalam masyarakat Saudi dan tekanan internasional. Sebelumnya, perempuan Saudi sebagian besar dilarang berolahraga di depan umum.
Namun pembentukan Liga Sepak Bola Perempuan, WFL, ini dikecam oleh Amnesty International sebagai bentuk pengalihan wacana dari "situasi hak asasi manusia yang sangat buruk." Di sisi lain, para ahli juga dengan hati-hati menyambut langkah ini dan melihatnya sebagai pencapaian bagi perempuan Saudi.
Negara itu berusaha menggunakan sifat glamor olahraga sebagai cara untuk meningkatkan citra internasionalnya, kata Lynn Maalouf dari Amnesty International. "Dorongan untuk memperbaiki situasi keseluruhan perempuan di Arab Saudi hanya bisa disambut ketika juga melibatkan individu-individu pemberani yang berjuang selama puluhan tahun untuk perubahan ini," tambahnya.
Charlotte Lysa, yang baru-baru ini menyelesaikan tesis PhD tentang sepak bola perempuan di Saudi dan Qatar dari Universitas Oslo, mengatakan "sangat penting untuk tetap memperhatikan mereka yang berada di penjara yang telah berjuang untuk hak-hak perempuan selama bertahun-tahun. Ini bukan satu-satunya cara mempromosikan hak-hak perempuan."
Mulai bulan Maret, kompetisi WFL untuk perempuan di atas 17 tahun akan digelar di Jeddah, Riyadh dan Dammam. Akan ada babak penyisihan, yang kemudian akan bersaing untuk memperebutkan Piala Champions WFL, dengan total hadiah uang sebesar 500.000 riyal (hampir setara Rp 2 miliar).
Aktivis perempuan masih dipenjara
Meski belakangan ini telah ada sejumlah perubahan bagi perempuan di Arab Saudi, para perempuan masih saja mengalami pembatasan dalam keseharian mereka. Perempuan masih bisa dipenjara atau dicambuk karena tidak patuh. Kesaksian anak perempuan di bawah umur di mata pengadilan Saudi juga kurang diperhatikan dibandingkan pria.
Selain itu, perempuan tidak diperbolehkan untuk mengajukan tuntutan hukum atau meninggalkan tempat penampungan yang dikelola pemerintah. Hal ini membuat mereka rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan juga masih butuh izin untuk bisa menikah atau membuka rekening bank dan bisa ditangkap oleh polisi agama karena mengenakan pakaian yang dianggap tidak sopan.
Nasib aktivis perempuan di Arab Saudi belum juga membaik. Sejumlah aktivis hak-hak perempuan terkemuka tetap dipenjara bahkan setelah beberapa perubahan yang mereka perjuangkan menjadi kenyataan. Sebagai contoh, aktivis Loujain al-Hathloul yang ditangkap pada Mei 2018 karena berkampanye melawan sistem perwalian dan hak untuk mengemudi. Selain itu, Gubernur Mekkah baru saja memerintahkan penangkapan penyanyi rap perempuan Ayasel Slay karena "menghina adat istiadat" kota suci dalam video musiknya.
(ae/yp)