Arab Saudi, Primadona Semu bagi Pekerja Migran
26 November 2019Baru-baru ini media lokal Bangladesh, bdnews24 memberitakan tentang video viral yang menunjukkan seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Bangladesh, Hosna Akter yang meminta pertolongan kepada suaminya, setelah mengalami kekerasan dan penyiksaan luar biasa oleh majikannya di Arab Saudi.
Suami Hosna mengatakan bahwa istrinya telah jatuh sakit karena tekanan kerja dan penyiksaan yang berlebihan. Dalam video tersebut, Hosna meminta suaminya untuk membantu kepulangannya ke Bangladesh.
Video dirilis oleh suami Hosna dan langsung viral di media sosial dan mendapat tanggapan pihak Konsulat Bangladesh di Jeddah, Arab Saudi. Dalam sebuah pernyataan pada Senin (25/11), pihak Konsulat Bangladesh mengatakan bahwa Hosna akhirnya telah diselamatkan oleh pihak berwenang Arab Saudi dan dibawa ke rumah aman (safe house), dan saat ini berada di bawah pengawasan polisi di Najran, Arab Saudi.
Menurut pemerintah Bangladesh, setidaknya sudah ada 330.590 TKW yang dikirimkan ke Arab Saudi yang sejak Juni 2014. Sementara, ada total 868.363 TKW Bangladesh yang dikirim ke 74 negara lainnya, sebagian besar ke Yordania, Uni Emirat Arab, Libanon, Oman, Qatar, dan Mauritius. Sementara, sudah ada 48 Tenaga Kerja Wanita (TKW) Bangladesh yang meninggal di Arab Saudi selama 10 bulan terakhir.
Bagaimana dengan Indonesia?
Persoalan TKW di Arab Saudi memang tidak ada habisnya. Beberapa waktu lalu, Indonesia dihebohkan dengan seorang TKW bernama Carmi asal Cirebon yang ditemukan setelah hilang kontak selama 31 tahun. Menurut keterangan keluarga, Carmi tak pernah digaji selama bekerja di Arab Saudi. Tidak hanya Carmi, TKW lain asal Cirebon bernama Turini juga ditemukan di Arab Saudi setelah hilang kontak selama 21 tahun. Keduanya sempat dibawa ke Rumah Harapan Mandiri (Ruhama) KBRI Riyadh, Arab Saudi, sebelum dipulangkan ke Indonesia.
Ruhama adalah tempat menampung para WNI yang sedang menghadapi permasalahan ketenagakerjaan dan juga permasalahan hukum di Arab Saudi sebelum dipulangkan oleh KBRI ke Indonesia.
Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Agus menjelaskan rumah singgah KBRI Riyadh saat ini dihuni 170 WNI yang menghadapi berbagai masalah di Saudi. Mayoritas permasalahan yang dihadapi mereka adalah masuk ke Saudi dengan visa kunjungan padahal sebenarnya tidak diperuntukkan untuk kerja.
Agus memaparkan bahwa masih banyak Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tiba di bandara favorit Arab Saudi, yakni Riyadh, Jeddah, Madinah dan Damam dengan memakai visa ziarah (kunjungan), visa syarikah (perusahaan) dan visa umrah. Semua pemakai visa ini, kata dia, tidak terdaftar di KBRI Riyadh ataupun KJRI Jeddah dan baru ketahuan ketika mereka menghadapi masalah ketenagakerjaan maupun masalah hukum di Arab Saudi.
Meski berkeyakinan bahwa melayani WNI yang terkena masalah di Saudi adalah suatu ibadah, namun Agus Maftuh berharap adanya 'extraordinary effort' atau usaha luar biasa dari semua pihak untuk mencari solusi ideal terhadap permasalahan ketenagakerjaan sekaligus kemanusiaan ini.
"Faktor inilah yang menyebabkan mereka tidak terdata di KBRI, sehingga KBRI kesulitan untuk memberikan perlindungan dan monitor keberadaan mereka dan seringkali KBRI Riyadh mengetahui data mereka justru ketika para pekerja migran tersebut mengalami masalah," ujar Agus seperti dilansir detikcom.
‘Jangan primadonakan Timur Tengah’
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, hingga kini Arab Saudi memang masih berada di posisi teratas negara yang menjadi TKW Indonesia. Namun Wahyu menyayangkan tingginya kasus kekerasan fisik hingga hukuman mati yang dialami TKW Indonesia di Arab Saudi.
“Sudah ada 6 migrant worker kita yang dieksekusi mati dan itu tidak pernah ada penjelasan resmi, tidak pernah ada notifikasi,” ujar Wahyu.
Menurutnya, pemerintah Indonesia masih enggan melakukan advoksi secara maksimal dengan pihak pemerintah Arab Saudi. Ia menyarankan daripada terus menerus menanggung resiko besar, sebaiknya pemerintah mengeluarkan sikap untuk tidak memprimadonakan atau memprioritaskan Arab Saudi.
“Saya merekomendasikan, tentu bukan melarang total karena kan punya dampak negatif ya. Artinya tidak memprimadonakan, tidak memprioritaskan Timur Tengah itu sebagai negara tujuan pekerja dari buruh migran kita,” sebutnya.
Menurut Wahyu, kerentanan pekerja migran di Arab Saudi begitu besar, bahkan data menunjukkan tidak ada perubahan sejak setengah abad lalu.
Mereka yang pergi ke Arab Saudi rata-rata masih berusia belia, sehingga belum memahami benar apa yang menjadi haknya selama bekerja di sana atau apa yang akan dihadapi. Oleh karena itu butuh peran pemerintah untuk terus mengawasi dan mengedukasi para pekerja migran.
Berikan hak yang sesuai
Arab Saudi masih berada di posisi teratas negara yang menjadi tujuan TKW Indonesia. Namun Wahyu menambahkan bila tetap ingin menjadikan Arab Saudi sebagai negara tujuan prioritas, sebaiknya pemerintah Indonesia bisa memperbaiki kerja sama dengan pemerintah Arab Saudi.
“Misalnya kalau Arab Saudi tetap ingin berminat menjalin kerja sama soal penempatan buruh migran, kita juga harus punya syarat dan ketentuan, misalnya penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) atau penghormatan perempuan,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia juga harus hadir memberikan hak atas informasi, bila Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mengalami masalah hukum yang berat. Namun menurut Wahyu, syarat-syarat yang ia sebutkan tadi masih belum diterapkan secara maksimal oleh pemerintah Indonesia kepada pemerintah Arab Saudi.
(pkp/hp)