AS-Cina Tandatangani Kesepakatan Dagang "Fase Satu"
15 Januari 2020
"Hari ini, kami mengambil langkah penting,yang belum pernah dilakukan sebelumnya dengan Chna," yang akan memastikan "perdagangan yang adil dan timbal balik," kata Presiden AS Donald Trump pada upacara penandatanganan Gedung Putih. "Bersama-sama, kita memperbaiki kesalahan masa lalu," tambahnya.
Trump menandatangani apa yang disebut kesepakatan perdagangan "fase satu" dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He, yang memimpin tim negosiasi Beijing, Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer serta Menteri Keuangan Steven Mnuchin.
Meredanya konflik perdagangan AS-Cina sejak beberapa hari terakhir telah membuat lega para pelaku pasar di seluruh dunia, yang sebelumnya mengkhawatirkan aksi balas membalas lanjutan dalam perang tarif impor.
Donald Trump juga menyatakan terimakasih kepada Presiden Cina Xi Jinping dan mengatakan dia akan berkunjung ke Cina "dalam waktu tidak terlalu jauh".
Dalam sebuah surat kepada Trump, Presiden Cina Xi Jinping menyatakan menyambut Kesepakatan Perdagangan Fase Satu yang tercapai dengan Amerika Serikat, dan dia bersedia "memelihara hubungan dekat" dengan pemimpin Amerika.
Hanya "gencatan senjata"
Sekalipun konflik mereda, tidak berarti hubungan kedua negara dalam jangka panjang langsung membaik, bahkan tampaknya tetap akan diwarnai ketegangan. Karena Kesepakatan Dagang "Fase Satu" hanya menetapkan "masa jeda" dalam perang dagang antara kedua negara. Jadi bukan suatu terobosan penting, kata Steve Tsang, pakar politik dan ekonomi di University of London.
Dalam pandangannya, kepemimpinan Xi Jinping telah membawa perubahan besar pada hubungan Cina dengan AS dan dunia Barat. "Ini adalah seorang pemimpin yang secara mendasar mengubah cara orang Cina memandang dunia," katanya kepada DW.
"Dia ingin ekonomi Cina tidak lagi tergantung pada Barat. Itulah yang dimaksud dengan 'Made in China 2025'. Jadi, pemerintah Cina akan berusaha mengurangi ketergantungan ekonomi."
Di bawah Xi Jinping, Cina terlihat berupaya keras menngimbangi dominasi Amerika Serikat di berbagai bidang. Agenda strategisnya ada di bawah program 'Made in China 2025' dan proyek infrastruktur raksasa 'Belt and Road Initiative' (BRI), sebuah agenda pembangunan jaringan dan infrastruktur transportasi yang melibatkan 152 negara.
Pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara industri barat lainnya memang sudah lama mempermasalahkan beberapa kebijakan ekonomi Cina, tidak hanya soal surplus perdagangan dan proteksionismenya. Tapi belakangan, terutama Amerika Serikat melancarkan kebijakan konfrontatif yang langsung mengarah pada perusahaan-perusahaan Cina. Misalnya kebijakan terhadap raksasa teknologi Huawei.
Perang dagang meruncing di bawah Donald Trump
Perang dagang terutama disulut oleh Presiden AS Donald Trump, yang sejak awal masa jabatannya menegaskan akan berjuang mengutamakan kepentingan Amerika, dengan slogannya "America First!"
Lebih dari itu, Donald Trump sering mendesak mitra-mitra dagangnya untuk bergabung sebagai "pembantu perang" dan bersama-sama melawan "musuh", yaitu Cina. Terutama negara-negara berkembang sering dipaksa memilih salah satu kubu.
Banyak negara berkembang menghadapi dilema, karena baik AS maupun Cina merupakan adidaya ekonomi. Keputusan bergabung dengan salah satu kubu bisa menguntungkan, atau juga merugikan, tergantung pada perkembangan ekonomi dan politik di kawasan.
Saatnya jadi lebih mandiri
Saat ini, AS dan Cina memang mendominasi perdagangan global, baik sebagai negara pengekspor maupun negara pengimpor terbesar dunia. Karena itu, perkembangan ekonomi global juga tergantung pada perkembangan di kedua negara ini. Setiap negara yang ingin memajukan ekonominya mau tidak mau harus berdagang dengan AS maupun Cina.
Pengamat ekonomi Steve Tsang mengatakan, inilah saatnya bagi negara-negara lain untuk melepaskan ketergantungan dari kedua raksasa ekonomi itu dan menjadi lebih mandiri, proses yang disebutnya sebagai "decoupling".
"Yang diperlukan adalah proses 'decoupling', terutama dari Amerika Serikat", katanya. Karena Amerika Serikat cenderung bersikap keras dan menjatuhkan sanksi kepada mitra-mitra dagang yang tidak mau mengikuti kebijakannya. Sedangkan Cina biasanya bersikap lebih lunak dan tidak terlalu gembar-gembor.
Bagaimanapun, jika perang dagang ini terus berlanjut setelah "masa jeda" ini, negara-negara lain tampaknya akan dipaksa memihak pada satu kubu, dan prospek ekonomi akan makin suram. Tapi mungkin saja, kedua adidaya ekonomi yang sedang bertikai itu akhirnya sadar, bahwa perekonomian akan lebih cerah, jika mereka mencapai kesepakatan yang tahan lama. (hp/vlz)