Asbes, Bahaya Laten Mengintai Selepas Gempa Dahsyat di Turki
28 September 2023Di Hatay, Turki selatan, masih terlihat pemandangan para pekerja menghancurkan bangunan yang rusak berat akibat gempa bumi yang melanda Turki dan Suriah pada 6 Februari. Mesin penggali berwarna kuning terlihat memindahkan tumpukan puing, menimbulkan awan debu yang menyelimuti kota.
Sejumlah anak terlihat berjalan melewati puing-puing untuk mencari tempat bermain sepak bola. Saat mereka bernapas, mereka berpotensi menghirup pembunuh senyap: asbes. Bahan bangunan beracun tersebut mencemari tanaman, tanah, dan puing-puing di wilayah pertanian tersebut, menyebabkan potensi krisis kesehatan serius yang tengah berlangsung di masyarakat, menurut penyelidikan eksklusif yang dilakukan oleh kantor DW di Turki dan Lingkungan Hidup.
Tim ahli dari Turkish Chamber of Environmental Engineers mengumpulkan sampel debu di Hatay untuk DW, yang kemudian dianalisis di laboratorium AGT Vonka Engineering and Laboratory Services yang terakreditasi internasional. Investigasi menunjukkan adanya asbes di wilayah tersebut meskipun klaim resmi pemerintah menyatakan sebaliknya.
Pakar kesehatan masyarakat mengatakan kepada DW bahwa orang-orang yang tinggal di daerah yang terkena gempa, termasuk ribuan anak-anak, berisiko serius terkena kanker paru-paru dan laring akibat asbes. Mesothelioma, kanker yang sangat mematikan dan agresif, juga berisiko menyerang.
"Di tahun-tahun mendatang, kita mungkin menghadapi kematian puluhan ribu anak muda akibat kasus mesothelioma," menurut dokter dan pakar kesehatan masyarakat dan kesehatan kerja, Özkan Kaan Karadag. Pernyataan ini menyusul hasil laboratorium awal dari penyelidikan DW.
Asbes, serbuk berbahaya dari puing akibat gempa
Sempat dipuji sebagai bahan ajaib dengan beragam kegunaan, asbes kini diklasifikasikan sebagai "pasti bersifat karsinogen" oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun, asbes masih ditemukan di banyak bangunan di Turki yang dibangun sebelum penjualannya dilarang pada 2010.
Bahan ini sering ditemukan di atap, dinding, dan insulasi rumah. Ketika rusak, asbes dapat hancur hingga berukuran mikroskopis dan terbawa udara, kemudian menyebar dengan bantuan angin.
Gempa bumi tanggal 6 Februari lalu menghancurkan 100.000 bangunan di 11 kota, termasuk Hatay. Lebih dari 200.000 lainnya rusak parah. PBB juga memperkirakan ratusan juta ton puing terbentuk akibat gempa tersebut dan gempa susulannya.
Berbulan setelah gempa, para pekerja masih menghancurkan bangunan-bangunan yang rusak. Mereka sering kali bekerja tanpa masker atau alat pelindung diri. Organisasi-organisasi, seperti Persatuan Insinyur dan Arsitek Turki, mengatakan mereka cenderung mengabaikan peringatan tentang risiko kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh pembongkaran, pembuangan puing-puing, dan praktik pembuangan limbah yang dilakukan secara serampangan setelah gempa bumi.
Menanggapi peringatan ini, Mehmet Emin Birpinar, Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Urbanisasi, dan Perubahan Iklim Turki, menulis di media sosial pada bulan Juni bahwa partikel asbes tidak ditemukan di udara.
Serbuk asbes bisa terbawa jauh
Hasil analisis DW terhadap 45 sampel dari enam lingkungan berbeda di Hatay tampaknya bertentangan dengan pernyataan resmi pemerintah. Enam belas sampel yang diambil secara acak, termasuk debu dari bagian atas tenda korban gempa bumi, serta yang diambil dari dedaunan, buah, tanah dan puing-puing, mengandung asbes.
Di Gaziantep, 200 kilometer dari Hatay, DW mengambil sampel debu dari atap mobil sewaan. Sampel ini pun positif mengandung asbes. Sampel kontrol ini diambil sebelum meninggalkan Gaziantep menuju Hatay, dan dua hari sebelumnya mobil juga telah dicuci. Para ahli mengatakan bahwa hal ini menunjukkan asbes dapat menempel pada kendaraan dan terbawa dalam perjalanan jarak jauh.
Kanker terkait paparan asbes akan muncul puluhan tahun kemudian. Namun, menurut para ahli, debu tebal di wilayah tersebut sudah membahayakan kesehatan dan risikonya semakin besar bagi anak-anak.
Limar Yunusoglu yang berusia 15 tahun dan keluarganya melarikan diri ke Turki dari Suriah untuk menghindari perang. Setelah gempa bumi, mereka pindah ke tenda-tenda di dekat tempat pembuangan sampah. Adiknya sekarang sedang sakit.
"Adik saya sakit karena debu. Kami membawanya ke rumah sakit, dan mereka memberinya oksigen. Tapi kemudian kami kembali ke sini di mana debu itu membuatnya sakit. Kadang-kadang dia tidur sepanjang minggu," kata Yunusoglu.
Upaya masyarakat kurangi bahaya asbes
Pada bulan April, Asosiasi Pengacara Hatay dan organisasi lingkungan dan kesehatan mengajukan gugatan untuk menghentikan kegiatan pembongkaran di kota ini, tetapi setelah 5 bulan, kasus tersebut masih menunggu keputusan.
Ecevit Alkan dari Asosiasi Pengacara Hatay adalah salah satu pengacara yang berusaha melawan praktik buruk pembuangan limbah. Dia juga jatuh sakit karena debu. Alkan membantu memetakan semua area pembuangan puing-puing yang digunakan di kota tersebut. Hal ini ia lakukan karena pihak berwenang belum mempublikasikan informasi tersebut, demikian menurutnya.
Kepada DW, ia menunjukkan sebuah lokasi yang dekat dengan sebuah SMA, di sana ada semacam perumahan sementara bagi korban gempa, dan saluran irigasi untuk bercocok tanam. Hatay adalah bagian dari wilayah subur di negara ini, dengan hasil pertanian seperti peterseli dan lobak yang cukup untuk dijual ke seluruh Turki.
"Jadi, sangat berisiko jika tempat ini dijadikan tempat pembuangan puing, baik bagi manusia maupun lingkungan," kata Alkan.
Utku Firat, insinyur lingkungan yang membantu mengumpulkan sampel debu untuk DW, mengatakan bahaya asbes bisa dikurangi dengan menghilangkan bahan asbes sebelum bangunan dibongkar.
"Masker harus dibagikan kepada masyarakat dan pekerja di wilayah tersebut, dan mereka harus didorong untuk menggunakannya," kata Firat. "Unit tempat tinggal di daerah yang paling terkena dampak debu harus diidentifikasi dan dipindahkan ke tempat lain."
Namun terlepas dari semuanya, solusi utama yang dibutuhkan adalah mengakui bahwa masalah tersebut ada, dan kemudian membuang bahan berbahaya tersebut dengan cara yang aman.
(ae/yf)