Aturan Baru Dorong Warga Nigeria Gunakan Toilet
10 Januari 2014Sembari menggendong anak perempuannya yang berusia 2 tahun, Laraba Alaghaye berjalan perlahan menuju sumber air setempat. Tepatnya genangan air berwarna coklat yang menampung sisa hujan dan air tanah.
Alaghaye tinggal di Kyuzhi, sebuah komunitas kecil di wilayah pedesaan Nigeria.
Ini adalah sumber air minum terdekat bagi komunitas sekitar pada musim kering, antara Desember dan April. Dari dulu air tidak pernah bersih di sini.
"Perut saya sakit setelah minum air ini," keluh Alaghaye. "Begitu juga dengan bayi dan suami saya. Saat kami pergi ke rumah sakit, mereka bilang karena air yang kami minum. Kata mereka kalau saya mau minum air ini, saya harus memasaknya terlebih dahulu."
Buang air besar sembarangan
Masalahnya adalah, banyak sumber air minum pada komunitas kecil semacam ini: air terinfeksi bakteri dari kotoran manusia. Bahkan, Kannan Nadar, dari Dana Anak-anak PBB (UNICEF) mengatakan November lalu saat Hari Toilet Sedunia bahwa lebih dari 100 juta warga Nigeria tidak memiliki akses ke toilet, sementara lebih dari 45 juta warga buang air besar di ruang terbuka.
Buang air besar sembarangan mendorong tingginya angka kematian bayi di Nigeria dan menimbulkan penyakit seperti kolera, menurut para pakar. Ini juga berakibat pada terhambatnya pertumbuhan komunitas yang seharusnya tumbuh kembang dengan baik. Acapkali isu ini tidak dibicarakan secara terbuka karena dianggap memalukan, sehingga untuk memecahkannya menjadi lebih sulit.
Namun tak sampai setahun lalu, sejumlah anggota komunitas Kyuzhi mendapat edukasi mengenai sanitasi. Mereka kemudian sepakat untuk berhenti melakukannya.
"Mereka tidak hanya mengajarkan cara meningkatkan higienitas pribadi, namun juga cara untuk menjaga seluruh komunitas bersih," ujar warga lokal Tanko Ayuba Kyuzhi yang ikut serta lokakarya.
"Komunitas sepakat untuk membentuk kelompok kerja lingkungan," lanjutnya.
Siapapun yang melanggar perjanjian terkait buang air sembarangan - bahkan anak-anak - akan didenda oleh kelompok kerja sebesar 2.000 Naira atau sekitar 150 ribu Rupiah.
"Kami hanya mendenda tiga orang tahun lalu," ungkap Kyuzhi kepada DW, menekankan kemajuan yang telah tercapai.
Sanitasi total oleh komunitas
Lokakarya dijalankan sesuai konsep sanitasi total oleh komunitas, atau CLTS. Kelas kerap diikuti para pemimpin komunitas, perempuan dan pemuda, dan mengajak warga untuk mengatasi isu buang air sembarangan.
Umumnya, peserta lokakarya pergi ke lokasi yang menjadi tempat buang air dan menginspeksinya. Hubungan antara kotoran manusia dengan penyakit kemudian dijelaskan.
Sesi semacam ini kerap membangkitkan emosi bagi mereka yang ikut serta. Namun dampaknya terasa, ujar Otive Igbuzo, dari Pusat Afrika untuk Strategi Kepemimpinan dan Pembangunan, yang membantu mengorganisir lokakarya di Kyuzhi.
"Kebijakan denda hanya akan berdampak apabila mayoritas warga melewati perubahan perilaku, jadi hanya ada sedikit yang membangkang atau pendatang baru di komunitas yang harus diperingati dengan sanksi atau denda," ucap Igbuzo.
Kembali ke sumber air setempat, Alaghaye menyatakan dirinya setuju dengan sistem denda. Dan ia membenarkan bahwa banyak anggota komunitas yang juga setuju. Sekarang toilet-toilet telah terpasang di wilayah tersebut. Begitu juga dengan lokasi-lokasi baru untuk buang air besar.
"Kalau anak laki-laki saya bilang mau buang air besar, saya pergi bersamanya, dan saya menunjukkan lokasi yang seharusnya sehingga saya bisa mengubur kotorannya," tuturnya kepada DW.
"Apabila saya melihat anak orang lain buang air di lokasi yang salah, saya bilang ke ibunya karena saya tidak ingin lingkungan kami kotor," pungkasnya.