Aturan Baru Penjaga Pantai Cina Berpotensi Eskalasi Konflik
11 Juni 2024Cina, yang memiliki sengketa maritim di Laut Cina Selatan dengan Filipina dan negara-negara ASEAN lainnya, mengukuhkan peraturan penjaga pantai ini di tahun 2021 yang akan berlaku efektif pada tanggal 15 Juni 2024 tentang UU Penjaga Pantai yang akan mengizinkan penahanan orang asing yang dicurigai melakukan pelanggaran.
Cina mengesahkan UU Penjaga Pantai ini pada 22 Januari 2021, yang memungkinkan negara itu mengambil tindakan yang diperlukan, termasuk penggunaan senjata ketika kedaulatan nasional, hak kedaulatan, dan yurisdiksi dilanggar secara ilegal oleh organisasi atau individu asing di laut.
Peneliti CSIS, Muhammad Waffaa Kharisma, mengatakan aturan ini akan semakin membuka peluang konflik di kawasan termasuk di Laut Natuna Utara yang selama ini diklaim sebagai kawasan memancing tradisional Cina.
"Potensi konflik besar. Jadi bisa saja insiden penangkapannya terjadi di Laut Natuna Utara misalnya. Kapal kita dianggap melakukan perbuatan ilegal (misalnya memancing di laut yang diklaim)," kata Muhammad Waffaa Kharisma kepada DW Indonesia.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Kalau ada penangkapan dan penahanan sepihak, itu sudah eskalasi baru. Tetapi yang lebih biasanya kita dengar adalah dengan kontak koersi temporer seperti menabrakkan kapal dan menyemprot tembakan air," tambahnya.
Menurut Waffaa, selama ini Cina telah melakukan serangkaian upaya untuk memperkuat klaim sepihak atas Laut Cina Selatan. Ia menilai pendefinisian area maritim yang disebut berada dalam yurisdiksi Cina di undang-undang tersebut tidak terlalu spesifik.
"Yang pasti, aturan ini menuntut mereka yang berpotensi terkena dampak untuk meningkatkan aset yang di-deploy sehingga tidak mudah ditangkap,” kata Waffaa.
Aturan penjaga pantai Cina berpotensi memantik ketegangan baru
Hal senada disampaikan Kepala Pusat Studi ASEAN Universitas Airlangga, Vinsensio Dugis, yang mengkhawatirkan adanya aturan baru yang digagas Cina itu. Ia menjelaskan, ketika itu diberlakukan, Cina memiliki kewenangan untuk menangkap siapa pun yang dianggap melanggar hukum otoritas Cina.
"Ini bisa menghadirkan krisis lebih lanjut karena menyangkut kapal tempur dari negara lain yang merasa perairan tersebut merupakan wilayahnya, seperti Filipina dan Vietnam. Ini sangat berpotensi membuat ketegangan baru,” ujarnya.
Selain itu, ujarnya, peraturan ini belum jelas mengatur hubungan dengan masyarakat sipil seperti nelayan akan seperti apa jika Cina melakukan kewenangan sesuai hukum yang mereka terapkan.
"Saya agak khawatir ini menimbulkan ketegangan terbuka. Cina lawan siapa,” ujarnya. "Saya khawatirkan nanti interpretasi Cina juga termasuk Laut Natuna Utara,” kata dia seraya menambahkan dampaknya jangka panjang jika yang mereka maksud ke wilayah tradisional yang mereka klaim.
Filipina upayakan koordinasi dengan Cina
Baru-baru ini, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. menyatakan bahwa peraturan yang akan diterapkan penjaga pantai Cina adalah suatu eskalasi dan "mengkhawatirkan” karena mengizinkan otoritas Cina melakukan penahanan orang asing di Laut Cina Selatan.
"Kebijakan baru yang mengancam akan menahan warga negara kita sendiri, itu berbeda, itu justru akan memperburuk situasi,” kata Marcos seperti dikutip Reuters ketika melakukan kunjungan ke Brunei Darussalam.
"Filipina akan mengupayakan segara cara untuk berkoordinasi dengan Cina agar menghentikan aksi agresif itu dan mengizinkan nelayan Filipina untuk menangkap ikan di Laut Cina Selatan,” kata Marcos.
Jika aksi agresif itu dapat diatasi, kata Marcos, semua pihak baru bisa membicarakan bisnis dengan cara damai.
Cina berulang kali terlibat konflik dengan Filipina dan menuduh kapal Filipina melakukan pelanggaran di wilayah Laut Cina Selatan. Puncaknya pada Oktober 2023 ketika tiga nelayan Filipina tewas di Laut Cina Selatan yang disengketakan setelah kapal mereka secara tidak sengaja ditabrak oleh kapal komersial yang lewat.
Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan aturan tersebut bertujuan menegakkan hukum dan ketertiban maritim agar lebih baik lagi. "Tidak perlu ada individu atau entitas yang khawatir selama tidak ada tindakan pelanggaran yang dilakukan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Mao Ning dalam konferensi pers yang disiarkan ANC Digital.
Terkait hal tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Roy Rolliansyah Soemirat mengatakan Indonesia menekankan kembali posisi ASEAN perlunya menahan diri dalam melakukan aktivitas di kawasan guna menghindari eskalasi perselisihan yang dapat memperumit situasi dan memengaruhi perdamaian serta stabilitas di kawasan.
Dalam beberapa kesempatan, Indonesia menyatakan bukan merupakan pihak yang bersengketa dengan Cina di kawasan Laut Cina Selatan, namun dalam beberapa kasus sempat terlibat konflik dengan Cina di perairan Natuna.
Cina mengklaim kawasan tersebut berada di wilayah yang disebut "sembilan garis putus-putus" yang secara historis diklaim sebagai wilayah tradisionalnya.
Pengadilan arbitrase PBB pada 2016 telah menolak klaim Cina tersebut dan klaim tersebut dinyatakan "tidak sah" tapi Cina menolak keputusan itu.
Pemerintah ASEAN harus tegas
Waffaa mengingatkan pemerintah Indonesia untuk mempertegas bahwa unilateral assertion of claim yang berpotensi meningkatkan tensi tidak dapat dibela dan perlu terus menekankan penyelesaian sengketa lewat jalur dialog dan hukum internasional.
"Indonesia meningkatkan kerja sama coastguard dengan negara-negara tetangga guna meningkatkan kapasitas mengamankan diri dan merespon interaksi antarsesama coastguard," kata dia.
Sementara Dugis berpendapat bahwa pemerintah negara ASEAN harus mengeluarkan pernyataan keberatan jika nantinya aturan ini akan membuat rumit masalah di Laut Cina Selatan.
"Filipina kan sudah, Sudah sepantasnya negara lain juga menyampaikan concernnya terkait hal ini," ujar dia. (ae)