Australia Bersiap Hadapi Boikot Negara Muslim Soal Yerusalem
14 Desember 2018Pemerintah Australia mewanti-wanti penduduknya yang akan berpergian ke Indonesia untuk waspada, menyusul rencana Canberra mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Perdana Menteri Scott Morrison diyakini akan segera mengumumkan sikap tersebut secepatnya hari Sabtu (15/12), bertepatan dengan perayaan hari Sabat oleh umat Yahudi.
Warga Australia yang bersiap terbang ke Indonesia untuk menyambut masa liburan "diharapkan menerapkan kewaspadaan tinggi," tulis
Baca juga: Kenapa Australia Pertaruhkan Indonesia demi Yerusalem?
Kementerian Luar Negeri di Canberra mengatakan: "Berbagai aksi demonstrasi sudah terjadi sejak beberapa pekan terakhir di sekitar Kedutaan Besar Australia di Jakarta dan Konsulat Jendral di Surabaya."
"Protes kemungkinan akan berlanjut di Kedutaan di Jakarta atau di Konsulat Jendral di Surabaya, Bali dan Makasar," tulis Kemenlu di Canberra lagi.
Indonesia sejak awal sudah menekan Australia untuk membatalkan rencana tersebut, antara lain dengan menunda ratifikasi perjanjian perdagangan bebas yang sudah rampung. Sementara itu pejabat senior Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Nabil Shaath menyerukan negara-negara Arab memboikot produk Australia.
Menurutnya jika negara-negara Teluk "bereaksi negatif dalam bentuk mengurangi volume impor, maka ini akan benar-benar melukai Australia."
"Arab Saudi adalah importir daging terbesar dari Australia," ujarnya kepada situs Plus 61J seperti dilansir The Guardian. "Australia tidak memonopoli produksi daging sapi, jagung dan gandum di dunia. Ada banyak kompetitor lain."
Baca juga: Soal Yerusalem, Indonesia Berniat Tunda Ratifikasi Perjanjian Dagang Australia
Ancaman Shaath senada dengan peringatan Wakil Perdana Menteri Australia, Barnaby Jocye. Ia menilai negara pengimpor produk agrikultur Australia seperti Indonesia, Qatar, Arab Saudi, Bahrain dan Yordania "sangat sensitif" terkait isu pengakuan Yerusalem.
PM Morrison meyakini langkah tersebut akan membantunya mengamankan dukungan kelompok Kristen dan Yahudi menjelang pemilihan umum.
Namun sejauh ini belum jelas apakah pengakuan Canberra hanya mencakup Yerusalem Barat atau juga melibatkan kawasan timur yang rencananya akan dijadikan ibukota negara Palestina Merdeka. Dalam kasus ini Australia melanggar ketentuan PBB yang menegaskan status Yerusalem hanya bisa ditentukan dalam perundingan langsung antara Israel dan Palestina.
Pengakuan terhadap Yerusalem sejak lama dianggap hal tabu dalam diplomasi internasional. Baik Israel maupun Palestina mengklaim kota suci tiga agama itu sebagai ibukota resminya. Namun sejak Presiden AS Donald Trump memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem Mei silam, sejumlah negara berniat mengambil langkah serupa.
Baca juga: Trump: Negara Penentang Kebijakan Yerusalem adalah Musuh AS
Pengakuan Yerusalem sebagai ibukota resmi Israel dikhawatirkan akan memicu konflik berkepanjangan di Timur Tengah dan mengubur perspektif damai antara kedua pihak. Ketika AS meresmikan gedung kedutaan baru di Yerusalem, ribuan penduduk Palestina berdemonstrasi di perbatasan Israel. Setidaknya 62 penduduk Gaza tewas ditembak serdadu Israel pada hari itu.
Saat ini ketegangan kembali memuncak antara Israel dan Palestina. Pada Kamis (13/12) militer Israel menggelar aksi penggerebekan di sejumlah gedung di Ramallah, Tepi Barat Yordan, setelah dua serdadunya ditembak mati di sebuah halte bus.
Insiden tersebut terjadi seusai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berjanji akan "melegalisasi" ribuan pemukiman Yahudi yang dibangun oleh kelompok garis keras di Tepi Barat Yordan.
rzn/hp (afp, rtr, theaustralian, haaretz)