Austria Tutup Tujuh Mesjid dan Deportasi Imam
8 Juni 2018Pemerintah Austria akan menutup tujuh masjid dan berencana untuk mendeportasi sekitar 60 imam sebagai langkah untuk memerangi Islam politis, radikalisasi dan mencegah pendanaan asing untuk kelompok agama. Kanselir Austria, Sebastian Kurz, mengatakan tujuh masjid yang ditutup terdiri dari satu masjid nasionalis garis keras Turki di Wina dan enam masjid yang dikelola kelompok Komunitas Religius Arab. Tindakan pemerintah Austria ini didasarkan pada undang-undang tahun 2015 yang, di antaranya, melarang komunitas agama mendapatkan pendanaan dari luar negeri.
Menteri Dalam Negeri Austria Herbert Kickl mengatakan izin tinggal para imam yang dipekerjakan oleh ATIB, organisasi yang mengawasi masjid Turki di Austria, sedang ditinjau, tapi sudah ada dua imam yang izin tinggalnya telah dicabut dan lima imam yang permohonan izin tinggalnya ditolak.
Kurz dari Partai Rakyat yang konservatif menjadi kanselir pada bulan Desember dalam sebuah koalisi anti-migrasi dengan Partai Kebebasan. Dalam kampanye pemilu tahun lalu, kedua partai koalisi menyerukan kontrol imigrasi yang lebih ketat, deportasi segera pencari suaka yang permintaannya ditolak dan tindakan keras terhadap Islam radikal. Pemerintah baru-baru ini mengumumkan rencana untuk melarang siswi sekolah dasar dan taman kanak-kanak untuk mengenakan jilbab.
"Masyarakat paralel, Islam politis dan kecenderungan ke arah radikalisasi tidak memiliki tempat di negara kami," kata Kurz kepada wartawan di Wina. Dia menambahkan bahwa kekuatan pemerintah untuk campur tangan "tidak dimanfaatkan dengan baik" di masa lalu. Langkah-langkah yang dilakukan hari ini adalah "langkah pertama yang signifikan dan perlu untuk menuju ke arah yang benar," kata Wakil Kanselir Heinz-Christian Strache, pemimpin Partai Kebebasan.
Hasil investigasi
Penutupan masjid yang ditengarai menyebarkan paham radikal ini dilakukan menyusul hasil investigasi otoritas urusan agama Austria, salah satunya mengenai foto yang muncul bulan April. Dalam foto yang diterbitkan mingguan Falter tersebut, anak-anak di sebuah masjid Turki memerankan adegan pertempuran Gallipoli di Perang Dunia 1.
Anak-anak itu mengenakan seragam kamuflase, berbaris, memberi hormat, melambai-lambaikan bendera Turki dan kemudian berpura-pura mati. "Mayat" mereka kemudian dibariskan dan dibungkus dengan bendera. ATIB sendiri mengutuk foto-foto itu dan "sangat menyesalkan" adegan tersebut.
Selain karena dugaan radikalisme, masjid tersebut juga ditutup karena tidak memiliki lisensi untuk beroperasi dibawah Komunitas Islam Austria, organisasi payung yang merepresentasi warga Muslim di negara ini.
Sementara itu, masjid-masjid Arab ditutup karena adanya laporan mengenai khutbah-khutbah kelompok Salafis yang ekstrim.
Reaksi Turki
Juru bicara kepresidenan Turki pada Jumat (08/06) mengecam keputusan Austria untuk mengusir 60 imam yang didanai Turki dan menutup tujuh masjid sebagai gerakan "anti-Islam" dan "rasis". "Keputusan Austria untuk menutup tujuh masjid dan mendeportasi imam dengan alasan yang mengada-ada adalah refleksi dari gelombang populis anti-Islam, rasis dan diskriminatif di negara ini," kata Ibrahim Kalin setelah Wina mengumumkan langkah tersebut.
Ia menambahkan bahwa keputusan itu adalah bagian dari upaya "menormalkan Islamophobia dan rasisme", yang katanya harus ditolak. "Praktik-praktik ideologis yang dibebankan pemerintah Austria melanggar prinsip-prinsip hukum universal, kebijakan integrasi sosial, hak minoritas dan etika koeksistensi," lanjut Kalin.
Selama kampanye referendum Turki tahun lalu untuk memperluas kekuasaan presiden, timbul tensi tinggi antara Wina dan Ankara setelah Austria tidak mengizinkan acara terkait kampanye dilakukan di sana. Hubungan juga tegang karena Kurz menyerukan kepada Uni Eropa untuk menghentikan perundingan dengan Ankara tentang Turki yang ingin bergabung dengan UE.
na/vlz (AP, reuters)