Autisme, Penyakit atau Sifat?
8 Mei 2013John, 12 tahun, adalah penderita autisme sejak usia balita. Dia tidak bisa menulis, berbicara dan mengerti. Perilakunya seperti anak usia satu atau dua tahun. Penderita autisme semacam ini tidak memiliki mimik dan sulit untuk mengerti perasaan. Kebanyakan hanya mengulangi ritual yang selalu sama dalam kesehariannya.
Rainer Döhle juga autis. Dia sudah dewasa ketika didiagnosa menderita sindrom Asperger, sebuah bentuk autisme yang tidak menunjukkan hambatan bahasa maupun kejiwaan. Rainer, 43 tahun, mengatakan, dalam rapornya selalu tercantum bahwa ia tidak mampu bersosialisasi dengan teman sekelasnya.
"Saya tidak pernah mengerti, bagaimana persahatan itu dan selalu senang jika dibiarkan sendiri dan dapat membaca," ujarnya. Rainer Döhle sekarang adalah pemimpin perhimpunan Aspies, organisasi bantuan terbesar bagi penderita autisme di Jerman.
Döhle sangat berbakat, menyenangi Geografi dan Sejarah yang dapat digunakannya secara konstruktif.
Sangat berbakat hingga amat terbelakang
Ada penderita autis yang tidak pernah bisa belajar berbicara, sementara penderita lainnya pandai sekali berbicara. Ada yang gerakan motoriknya terganggu, sedangkan penderita lainnya dapat menggambar berjam-jam tanpa jeda.
Ada penderita autis yang kemampuan mengingatnya terbelakang dan ada yang ingatan angkanya luar biasa. Tetapi pada dasarnya, semua penyandang autis menunjukkan pola perilaku yang berulang dan sulit melakukan interaksi dengan orang lain.
"Autisme secara secara kualitatif sama dengan sindrom Asperger", demikian dijelaskan Sven Bölte, direktur Pusat bagi Gangguan Perkembangan Syaraf di Institut Karlinska Stockholm. "Kedua bentuk autisme itu berbeda dalam tingkat keparahan gejalanya," tambah Bölte.
Karena itu para pakar autisme saat ini berbicara tentang spektrum gangguan autisme yang dinilai berakar pada perkembangan sistem syaraf yang berbeda. Namun masih belum jelas, gangguan spesifik yang bagaimana yang terjadi pada perkembangan otak dan sistem syaraf.
Variasi ekstrem dari otak pria?
Diketahui bahwa penyandang autisme menunjukkan lebih rendahnya aktivitas di area otak yang bertanggung jawab terhadap pengolahan perasaan dan bahasa atau pengingatan kembali wajah. Namun aktivitas yang lebih kuat terlihat pada area pengolahan obyek dan identifikasi detil sebuah sistem.
Karena itu, periset autisme, Baron-Cohen berpendapat, penyandang autisme memiliki variasi ekstrem otak pria. Sebuah studi menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat testosteron pada sebuah janin, semakin tinggi kemungkinan bayi nantinya menunjukkan sifat autis Demikian Baron-Cohen.
Selain itu, terkait unsur dopamin dan serotonin yang antara lain mengatur perasaan takut dan motivasi, otak penderita autis berbeda dari otak normal. Penelitian di Universitas Freiburg menunjukkan komunikasi antara neuron di otak penderita autis mengalami gangguan.
Faktor lingkungan dan risiko
Sven Bölte juga mengatakan : "sebuah riset menunjukkan adanya hubungan antara autisme dan infeksi viral saat kehamilan". Juga obat tertentu yang digunakan sang ibu saat hamil, komplikasi saat melahirkan dan bahkan pencemaran lingkungan merupakan faktor risiko bagi autisme.
"Tapi risiko ini tidak berlaku bagi semua, karena munculnya autisme berbeda-beda secara individual dan mekanismenya cukup rumit", tambah Bölte.
Sampai sekarang, psikiater dan pakar ilmu syaraf masih menentukan autisme berdasarkan pengamatan perilaku yang sama dan berulang. Serta masalah interaksi sosial. Jadi penilaian yang masih tetap subyektif. Semakin rumit gambaran autisme yang dibuat pakar genetika, epidemilogi dan neurologi, juga semakin kabur kriteria yang disebut autisme.