Ekonomi Vietnam Diuntungkan oleh Strategi Pandemi di Cina
3 Juni 2022Vietnam termasuk satu dari sedikit negara yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi di tengah tahun pandemi 2020 silam. Keberhasilan itu didapat berkat mitigasi dini dan kebijakan ketat pemerintah dalam menerapkan strategi nol-Covid.
Ketika angka infeksi mulai merangkak naik pada pertengahan 2021, saat varian Delta merajalela, Vietnam buru-buru menutup sentra produksinya. Pabrik milik Samsung, Apple, Nike atau Zara harus tutup berpekan-pekan.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi anjlok di minus 2,58 persen, menurut Bank Dunia.
Pemerintah di Hanoi mengandalkan program vaksinasi untuk bisa menggerakkan kembali roda perekonomian. Pemerintah Vietnam memilih menggunakan vaksin buatan Eropa dan AS, ketimbang produksi Cina.
"Vietnam mengendalikan situasinya dengan cepat,” kata Daniel Müller dari jejaring ekonomi Asia Timur, OAV, di Hamburg. Menurutnya, keberhasilan itu "membuktikan daya adaptasi sistem di Vietnam yang tinggi.”
Saat ini, negeri di Delta Mekong itu tidak lagi membatasi gerak penduduknya. "Risiko merebaknya kembali virus corona diyakini tetap kecil", kata Dang Duc Anh, Direktur Institut Higiene dan Epidemiologi di Hanoi.
Alhasil, tahun ini Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen di Vietnam, yang akan meningkat jadi 6,7 persen pada tahun 2023.
Investasi tambahan dari Cina
Pemadaman di Cina semakin mendorong investor asing dan lokal memindahkan sebagian infrastruktur produksinya ke negeri jiran. Raksasa elektronik Korea Selatan, Samsung, Februari lalu mengumumkan akan menambah investasi senilai USD 920 juta untuk menambah kapasitas produksi di Vietnam.
Tren pemindahan produksi dari Cina ke Vietnam juga ditopang fenomena di dalam negeri. Perusahaan elektronik Cina, Luxshare, Goertek dan Pegatron, sudah mulai aktif di Vietnam, menurut laporan mingguan Jerman, "Elektronik Praxis.”
Raphael Monk dari perusahaan jasa konsultasi Fitch Solutions, meyakini "Vietnam akan memetik keuntungan terbesar dari pemindahan rantai suplai,” katanya kepada Reuters.
Tren itu antara lain dipercepat oleh ketidakpuasan pelaku bisnis terhadap kebijakan pemerintah Cina. "Dimensi ketidakpuasan itu mencapai level yang sebelumnya tidak ada,” imbuh Müller.
Kendala rantai suplai global
Namun demikian, upaya Vietnam menarik investor untuk memindahkan produksinya akan ikut terganjal oleh gangguan rantai suplai global. Karena tanpa pasokan bahan mentah yang stabil, produksi tidak akan berjalan lancar.
Sebagai solusinya, Vietnam "harus melakukan pembenahan di semua level,” kata Müller. Terutama sistem pendidikan dan vokasi yang ada saat ini dianggap belum mampu mengimbangi standar global.
Masalah lain yang menghambat investasi adalah catatan HAM pemerintah di Hanoi. Bagi Uni Eropa atau Jerman, sistem autoriter yang dijalankan di Vietnam bertentangan dengan prinsip dasar kebijakan luar negeri.
Hal ini terlihat dari Perjanjian Bebas UE-Vietnam (EVFTA) yang meski berlaku sejak Agustus 2020 silam, masih belum sepenuhnya bisa diimplementasikan. Terutama keenganan Vietnam mengizinkan pembentukan serikat buruh dianggap sebagai hambatan terbesar.
Müller meyakini, Vietnam sebabnya tidak bisa menjadi mitra erat dengan pemerintahan baru Jerman yang menyandarkan kebijakan luar negeri pada nilai-nilai kemanusiaan. Namun begitu, "Vietnam tetap bernilai penting bagi Jerman dan Eropa,” sebagai sentra produksi padat karya.
Dan dalam fungsinya itu, Vietnam bisa menikmati status khusus dibandingkan negara-negara Asia Tenggara yang lain.
rzn/as