Bagaimana Hitler dan Nazi Menggunakan Isu Islam Selama PD II
17 November 2017DW: Dalam buku Anda, "Islam dan Perang Nazi Jerman," Anda menulis tentang kebijakan Nazi terhadap entitas politik Islam. Bagaimana kebijakannya?
David Motadel: Pada puncak perang, pada tahun 1941-1942, ketika tentara Jerman memasuki wilayah berpenduduk Muslim di Balkan, Afrika Utara, Krimea, dan Kaukasus dan mendekati Timur Tengah dan Asia Tengah, Berlin mulai melihat Islam sebagai faktor signifikan secara politis. Nazi Jerman melakukan upaya besar untuk mempromosikan "aliansi dengan dunia Muslim" guna melawan pihak yang mereka anggap sebagai musuh: Kerajaan Inggris, Uni Soviet, Amerika Serikat dan kaum Yahudi.
Di zona perang, Jerman melakukan berbagai macam kebijakan keagamaan dan propaganda untuk mempromosikan rezim Nazi kepada para pemimpin Islam. Awal 1941, militer Jerman "Wehrmacht" membagikan buku pegangan tentang Islam bagi tentaranya. Mereka ingin tentaranya berperilaku baik terhadap populasi Muslim. Di Front Timur, Nazi memerintahkan pembangunan kembali masjid, mushala dan madrasah - yang sebelumnya dihancurkan oleh Uni Soviet - untuk melemahkan pemerintahan Soviet.
Otoritas militer Jerman juga melakukan upaya ekstensif untuk mengkooptasi pejabat Islam. Propaganda Jerman di Eropa Timur, Balkan dan Afrika Utara mencoba menggunakan retorika keagamaan, kosa kata dan ikonografi untuk memobilisasi umat Islam. Mereka mempolitisir ayat suci seperti dari Al Qur'an dan juga doktrin agama, terutama konsep jihad, untuk memicu kekerasan agama bagi tujuan politik.
Banyak yang beranggapan bahwa umat Islam mendukung rezim Nazi karena mereka Anti Yahudi. Itulah sebabnya Nazi mencoba menarik umat Muslim ke pihaknya. Apa anggapan itu benar?
Di sisi pragmatis Nazi Jerman, kepentingan strategis adalah kekuatan pendorong terpenting di balik kebijakan ini. Namun, dalam propagandanya, terutama di dunia Arab, tema anti Yahudi memang memainkan peran penting. Propaganda anti Yahudi sering dikaitkan dengan serangan kaum migran Zionis ke Palestina, yang menjadi topik utama dalam wacana politik Arab.
Di sisi umat Muslim, orang tidak bisa menggeneralisasi. Beberapa sekutu Muslim rezim Nazi - yang terpenting adalah Mufti Yerusalem yang terkenal – memang bersikap anti Yahudi seperti Nazi. Tapi di zona perang di Balkan, Afrika Utara dan di wilayah Timur, situasinya lebih rumit. Di banyak daerah ini, Muslim dan Yahudi telah hidup bersama selama berabad-abad. Dalam beberapa kasus, umat Islam akan membantu tetangga Yahudi mereka, misalnya menyembunyikan mereka dari kejaran tentara Jerman.
Apa yang diharapkan oleh pemimpin Muslim yang bersimpat pada Hitler?
Pengaruh Nazi Jerman pada Islam bukan hanya karena daerah berpenduduk Muslim telah menjadi bagian dari zona perang, namun yang lebih penting, bahwa dari tahun 1941 sampai 1942, posisi militer Jerman memburuk. Di Uni Soviet, strategi Blitzkrieg Hitler telah gagal. Saat militer Jerman mendapat tekanan, para ahli strategi di Berlin mulai mencari koalisi perang yang lebih luas. Strateginya adalah untuk menenangkan wilayah yang diduduki yang mayoritasnya kaum Muslim dan untuk memobilisasi umat Islam agar berperang di sisi tentara Jerman.
Banyak orang Islam yang kemudian bekerjasama dengan rezim Nazi dengan alasan pragmatis. Mereka percaya bahwa Nazi Jerman pada tahun 1941-1942 akan menang dan akan menentukan tatanan dunia selanjutnya. Mereka percaya bahwa Nazi dapat membantu membebaskan mereka, misalnya dari penjajahan Inggris.
Bukankah rasisme Nazi merupakan hambatan utama untuk berkolaborasi dengan umat Islam?
Hitler telah mendalilkan status rasial orang-orang non-Eropa dalam bukunya "Mein Kampf". Namun setelah berkuasa, dia menjadi lebih pragmatis: Orang-orang Turki non-Yahudi, Iran dan Arab dibebaskan secara eksplisit dari diskriminasi rasial, dan itu kebijakan resmi pada tahun 1930an, setelah ada intervensi diplomatik dari pemerintah di Teheran, Ankara, dan Kairo. Selama berlangsungnya perang, Nazi Jerman menunjukkan kebijakan pragmatis yang sama. Bagi semua perwira Jerman berlaku aturan, umat Muslim di mana-mana harus diperlakukan sebagai sekutu.
Dr. David Motadel adalah Asisten Profesor Sejarah Internasional di London School of Economics and Political Science. Dia bekerja dalam sejarah hubungan Eropa dan Eropa modern dengan dunia yang lebih luas. Pada tahun 2017, Motadel dianugerahi Hadiah Philip Leverhulme untuk Sejarah. Wawancara DW dilakukan oleh Nastassja Shtrauchler.