Bagaimana India Memasok Senjata untuk Rezim Militer Myanmar
26 Mei 2023Sejak rezim militer merebut kekuasaan di Myanmar pada Februari 2021, perusahaan-perusahaan di India — termasuk badan usaha milik negara — telah mengirimkan senjata, bahan baku, dan pasokan militer lainnya setidaknya senilai USD51 juta.
Sebuah laporan PBB yang dirilis minggu lalu mengungkapkan bahwa total 22 pemasok yang berbasis di India telah mengirimkan senjata ke Myanmar selama tindakan keras militer terhadap aksi-aksi protes. Di antara pemasoknya adalah badan usaha milik negara, termasuk Bharat Dynamics, Bharat Electronics dan Yantra India, serta perusahaan swasta Sandeep Metalcraft dan Larsen & Toubro.
Laporan tersebut mengatakan bahwa pasokan material dari India ke Myanmar telah digunakan untuk pengawasan serta untuk meningkatkan stok artileri dan rudal. Ini bisa dilihat sebagai pelanggaran hukum kemanusiaan internasional. Selain India, negara-negara Rusia, Cina, Singapura, dan Thailand juga memasok perlengkapan militer senilai total sekitar USD1 miliar kepada rezim Myanmar, kata laporan tersebut.
"Itu karena sanksi tidak ditegakkan secara memadai dan karena para pedagang senjata yang terkait dengan rezim telah mampu menciptakan perusahaan-perusahaan cangkang untuk menghindarinya,” kata Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar.
Dalam laporan terperincinya, PBB menuduh produsen senjata Yantra India Limited mengirim senjata kaliber 122 mm ke Myanmar pada Oktober lalu. Pasokan senjata senilai USD330.000 itu dikirim ke Innovative Industrial Technologies Company Limited yang berbasis di Yangon, yang dimiliki oleh broker senjata militer Myanmar.
Keterlibatan ambigu India dengan Myanmar
Para pemimpin dan aktivis pro-demokrasi Myanmar menyatakan terkejut dengan sikap India yang membantu dan mendukung rezim militer dengan pengiriman senjata. "India, sebagai negara demokrasi terbesar di kawasan itu, melanjutkan kebijakan kontraproduktifnya dalam keterlibatan dengan junta militer, yang bukan merupakan mitra yang dapat diandalkan bagi India dan tidak melayani kepentingan India bahkan dalam jangka pendek,” kata Zaw Tuseng, direktur Myanmar Policy Institute, kepada DW.
Moe Zaw Oo, wakil menteri luar negeri Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar NUG, mengatakan dia terkejut mengetahui bahwa India memasok senjata ke militer Myanmar. NUG adalah pemerintah di pengasingan yang dibentuk oleh perwakilan terpilih dan anggota kelompok etnis minoritas.
"Rakyat Myanmar akan mengingat itu, dan itu akan berdampak pada hubungan jangka panjang kedua negara. Pemerintah India harus secara serius mempertimbangkan keinginan dan kemauan rakyat kita daripada kepentingan bisnis yang picik,” kata Moe Zaw Oo kepada DW .
Menurut Sui Khar, pemimpin Front Nasional Chin CNF, India melihat pengaruh Cina di Myanmar sebagai ancaman. "Oleh karena itu, (India) mencoba menjalin hubungan baik dengan junta militer yang salah tempat. Itu tidak akan berhasil. Tatmadaw (junta militer yang berkuasa di Myanmar) bukan satu-satunya pemangku kepentingan di negara ini, dan semakin cepat New Delhi menyadari hal ini, itu akan lebih baik," kata Sui Khar kepada DW.
Ribuan pejuang dari negara bagian Chin dan wilayah Sagaing telah bergabung dalam perjuangan bersenjata dan melakukan perlawanan sengit terhadap militer Myanmar selama dua tahun terakhir. "Hak-hak rakyat sedang dihancurkan. New Delhi harus mempertimbangkan implikasi moral dan etis dari transfer dan penjualan senjata semacam itu,” kata Salai Isaac Khen, mantan menteri negara bagian Chin, kepada DW.
India membantah jadi sumber utama senjata Myanmar
Perwakilan India mengatakan kepada pelapor PBB Tom Andrews bahwa senjata yang dipasok ke Myanmar adalah bagian dari komitmen yang dibuat kepada pemerintahan sipil sebelum kudeta, dan diekspor sehubungan dengan isu keamanan domestik New Delhi sendiri.
"India tidak pernah, juga tidak akan, menjadi sumber utama senjata ke Myanmar, dan India telah memenuhi kewajiban kami di masa lalu. Ekspor kami sangat jelas diteliti. Kami mempertimbangkan apa yang menjadi kepentingan rakyat Myanmar,” kata perwakilan India di PBB, menurut laporan tersebut.
Diperkirakan ada 1.704.000 total pengungsi internal di Myanmar pada awal Maret 2023, menurut angka PBB. Setidaknya 2.940 warga sipil telah dibunuh oleh otoritas Myanmar, menurut Independent Assistance Association for Political Prisoners, sebuah kelompok pengawas yang mendata pembunuhan dan penangkapan. 17.572 orang lainnya telah ditangkap sejak Februari 2021, dengan 13.763 di antaranya masih berada di balik jeruji besi. (hp/yf)