Bagaimana Media Sosial Wadahi Protes Covid di Cina
10 Desember 2022Demonstrasi yang meletus di berbagai kota di Cina terkait kebijakan nol-Covid menjadi ujian besar bagi kekuasaan Xi Jinping. Pemerintah akhirnya melonggarkan pembatasan pandemi. Warga misalnya tidak lagi harus melakukan tes jika berkunjung ke sebuah acara atau berpindah ke provinsi lain.
Dalam aksinya, warga membuat slogan anti pemerintah, membakar lilin atau menampilkan plakat kosong sebagai protes atas terbatasnya kebebasan berpendapat. Demonstrasi juga digelar di luar negeri. Mahasiswa dan pelajar Cina misalnya melaksanakan peringatan untuk mengenang korban kebakaran api di Xinjiang bulan lalu. Mereka juga melakukan "protes bisu" terhadap kebijakan nol-Covid.
"Pertama kalinya kami berkumpul adalah ketika kita menyelenggarakan malam pembakaran lilin untuk mengenang korban kebakaran Urumqi," kata Sid, seorang mahasiswa Cina di Oxford University, Inggris. "Dari 27 November hingga 2 Desember, kami menghabiskan setiap malam dengan mendesain poster atau merancang pidato, sembari mengkampanyekan aksi protes bisu di Instagram, Twitter dan kanal lain."
Tumbuhnya sikap perlawanan di kalangan mahasiswa Cina di luar negeri ikut digerakkan oleh media sosial, yang berperan dalam menjaga momentum pergerakan, kata Sid. "Karena rejim sensor di Cina, kebanyakan pesan kami dihapus di dalam negeri," kata dia lagi.
Terutama Twitter banyak digunakan oleh demonstran Cina. Meski dilarang sejak 2009 oleh Beijing, netizen masih bisa mengakses Twitter melalui jejaring pribadi virtual (VPN).
Sid mengatakan Twitter dan Instagram saat ini merupakan sumber informasi independen terbesar bagi warga Cina. "Platform ini membantu warga Cina berhubungan dengan kaum diaspora di luar negeri. Di puncak 'Gerakan Kertas Putih,' warga bahkan bisa menonton aksi protes di Shanghai dan di belahan lain secara langsung lewat Instagram," ujarnya.
Jembatan dunia maya di Twitter
Terutama sebuah akun Twitter menjadi pusat informasi bagi dunia tentang protes yang bermunculan di Cina. Akun yang terdaftar dengan nama samaran, Li Laoshi atau Guru Li, itu memiliki lebih dari 800.000 pengikut, termasuk banyak jurnalis internasional.
Ketika ditanya bagaimana akunnya bisa menjadi sumber informasi independen di Cina, Li yang tinggal di luar negeri, mengatakan dia ingin merespons minimnya dokumentasi dan pemberitaan terkait aksi protes.
"Alasan utama kenapa akun saya mendapat banyak sekali konten dari warga Cina adalah mungkin karena saya mendokumentasikan aksi protes secara obyektif," kata dia.
"Meski banyak yang membagikan konten serupa, mereka membubuhinya dengan pandangan pribadi. Tapi jika ada warga Cina yang ingin mendapat informasi di luar sensor pemerintah, mereka mengikuti akun yang melaporkan tanpa pandangan pribadi."
Li mengatakan, platform media sosial selama ini dipercaya mengemban berita independen tentang apa yang terjadi di sekitar Cina.
"Kebanyakan video atau gambar protes akan menghilang dalam hitukan detik di media sosial Cina seperti Weibo. Di Twitter, konten ini bisa disimpan lebih lama. Sebabnya banyak warga Cina yang menghindari sensor demi mengikuti aksi protes sejak awal."
Munculnya alun-alun virtual
Yaqiu Wang, peneliti senior Human Rights Watch (HRW), mengatakan volume konten yang besar menandakan banyaknya warga Cina yang menggunakan platform internasional.
"Meski pada umumnya tidak banyak warga Cina yang menggunakan Twitter, momen-momen besar seperti ini justru membuktikan sebaliknya," kata dia.
Menurutnya ramainya geliat di media sosial menunjukkan "pola desentralistik gerakan protes di Cina, di mana warga mencari informasi di media sosial dan menemukan rasa kebersamaan di sana."
Sepanjang pekan lalu, otoritas Cina merespons aksi demonstrasi dengan memperkuat pengawasan. Zhou Fengsuo, tokoh kemanusiaan Cina, mengatakan terlepas dari hasil protes, gerakan ini berhasil menyadarkan kaum muda untuk mau "memperjuangkan nasibya dengan suara sendiri."
"Ini juga menjadi spirit aksi demonstrasi di Lapangan Tiananmen, ketika kaum muda tidak lagi mau menerima kekuasaan autoriter," imbuhnya.
"Warga Cina menjadikan Twitter, Instagram dan Telegram sebagai alun-alun virtual bagi mereka untuk mengumpulkan dan menyebar informasi atau memobilisasi diri. Situasinya bahkan lebih baik ketimbang pada saat tragedi Tiananmen karena Partai Komunis tidak bisa dengan mudah mengintervensi aktivitas siber," pungkas Zhou.
rzn/hp