Bagaimana Media Taiwan Menangkal Propaganda Cina
25 Juni 2024Jelang pemilihan presiden pada bulan Januari, kekhawatiran meluas di kalangan penduduk Taiwan terhadap intervensi dan campur tangan Cina. Kekhawatiran tersebut bukan tidak berdasar, mengingat kejadian serupa terjadi pada pemilu sebelumnya.
Cina berusaha membelah Taiwan dengan memperkuat dukungan bagi kelompok pro-Beijing di Taipei, memperlemah partisipasi pemilu dan menciptakan iklim ketakutan di masyarakat.
"Salah satu metodenya adalah perundungan ekonomi," kata Yuchen Li, koresponden DW di Taipei, sebelum pemungutan suara. "Karena Cina adalah mitra dagang terbesar Taiwan, maka Beijing menganggap pemungutan suara sebagai pilihan antara kemakmuran atau depresi ekonomi.”
Meski demikian, Cina gagal menghadang terpilihnya Lai Ching-te sebagai presiden, yang selama ini dicap sebagai "aktivis separatis" karena mendukung kemerdekaan Taiwan.
Intervensi pemilu oleh Cina biasanya dilakukan melalui propaganda media. Berbeda dengan agresi militer di laut, perang wacana yang digencarkan Cina sebagian besar luput dari perhatian internasional.
Geopolitik dan media
"Sejak tahun 2018, jumlah media asing di Taiwan meningkat dua kali lipat," kata Tzung-Han Tsou, kepala biro DW di Taipei, dalam acara Global Media Forum (GMF) di Bonn, Selasa (18/06).
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Taiwan berada di peringkat ke-27 dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia Reporters Without Borders tahun 2024, sementara Cina berada di peringkat ke-172. Hal ini menunjukkan kedua negara tetangga tersebut mempunyai pandangan yang sangat berbeda mengenai kebebasan pers,” kata Tzung-Han.
"Pada saat yang sama, menurut Pusat Demokrasi dan Keberagaman Swedia, Taiwan menduduki peringkat nomor 1 di dunia sebagai sasaran serangan dari luar negeri, sebagian besar dilakukan oleh Cina," imbuhnya lagi.
Peserta panel mencakup Billion Lee, direktur organisasi crowdsourcing Cofacts, Hsueh-Li Lee, wakil CEO The Reporter Cultural Foundation dan Mathias Bölinger, kepala penelitian dan investigasi di DW. Ketiga panelis menekankan pentingnya mempertimbangkan agresi geopolitik Cina dalam konteks strategi media yang bertujuan merusak demokrasi Taiwan.
Reputasi otoriter Cina
Bölinger, yang pernah bekerja di Cina sebagai reporter selama bertahun-tahun, yakin bahwa strategi media oleh Beijing untuk negara-negara seperti Taiwan mencerminkan keterbatasan media di dalam sendiri.
"Antara tahun 2016 dan 2021, saya menyadari bahwa apa yang dilaporkan oleh jurnalis, dan betapa gugupnya pihak berwenang dalam bereaksi terhadap pemberitaan media, menjadi semakin buruk," katanya.
Periode yang disoroti oleh Bölinger adalah masa kritis bagi Beijing. Selama periode ini, Cina menunjukkan ketegasan di Hong Kong, yang melanggar prinsip "satu negara, dua sistem."
Protes besar-besaran meletus di Hong Kong pada tahun 2019, dipicu oleh rencana untuk mengizinkan ekstradisi ke Cina daratan, yang dikhawatirkan oleh para kritikus dapat melemahkan otonomi dan membahayakan aktivis masyarakat sipil.
Pada tahun 2020, upaya Cina untuk menyembunyikan kemunculan awal pandemi Covid-19 dengan menindak pemberitaan media, juga mendapat perhatian dunia internasional.
Singkatnya, ambisi hegemoni Cina menguat seiring meningkatnya upaya menekan kebebasan berpendapat baik di dalam maupun di luar negeri.
Perang opini di media sosial
Segala sesuatu di Cina dikendalikan oleh Partai Komunis, PKC, yang menggencarkan perang opini terhadap negara-negara seperti Taiwan, kata Hsueh-Li dari The Reporter Cultural Foundation.
Selama beberapa tahun terakhir, salah satu metode yang paling sering digunakan oleh pemerintah adalah memanfaatkan platform media sosial seperti TikTok. Selain itu, PKC mendorong kelompok pro-Beijing dan warga negara Cina di Taiwan untuk "menciptakan banjir berita palsu” di pulau tersebut.
Beijing menggunakan taktik berbeda untuk membungkam pers di Hong Kong dan Taiwan. "Beberapa tahun terakhir ini merupakan tahun yang penuh tantangan bagi jurnalis," tambahnya.
"Setelah tindakan keras dilakukan di Hong Kong, banyak jurnalis hilang atau dipenjara," menurut Hsueh-Li. "Di Taiwan, Cina tidak hanya menyebarkan berita palsu tetapi juga berusaha mencegah jurnalis untuk melaporkan."
Bagaimana menangkal propaganda Cina?
Tzung-Han dari DW memperingatkan para peserta GMF tentang penggunaan propaganda yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan, AI.
"Saya menonton video tentang mantan presiden Taiwan di Facebook, sebuah video palsu di mana dia berbicara tentang bitcoin. Tentu saja itu tidak masuk akal,” ujarnya. Cina secara berkala menyebarkan informasi serupa kepada masyarakat Taiwan, imbuh Tzung-Han.
Menurut Billion Lee, analis dari Cofacts, perang media di Cina bersifat multifaset dan berlangsung secara hibrida. Di satu sisi, Cina berupaya mendiskreditkan politisi Taiwan dengan membuat skandal, dan pada saat yang sama juga menggambarkan Barat secara negatif.
Sebabnya, penting untuk memeriksa fakta dan menjangkau masyarakat untuk melawan propaganda Cina, kata Billion.
Para ahli percaya bahwa perang media yang dilancarkan Cina akan meningkat seiring dengan agresi militer Beijing di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, mengatasi kedua tantangan tersebut secara bersamaan dipandang krusial.
rzn/hp