Bagaimana Mekanisme Reaktivasi Virus Herpes?
19 Mei 2022Cacar air adalah satu contoh menarik. Penyakitnya memicu bisul bernanah yang sangat gatal. Ini dipicu virus varicella-zoster, salah satu virus herpes paling terkenal yang menginfeksi manusia dan membuat orang sakit. Virusnya menyebar luas di seluruh dunia dan terutama dikenal sebagai penyakit anak-anak. Mayoritas anak yang terinfeksi sembuh kembali, paling hanya meninggalkan bercak parut. Namun, virusnya juga ikut menetap dalam tubuh.
Varian varicella-zoster dari virus herpes biasanya menyerang sel saraf tubuh yang disebut ganglia. Virus ini bisa "tidur" puluhan tahun dalam tubuh dan tiba-tiba saja bisa aktif lagi dalam bentuk herpes zooster atau shingles. Selain itu, varian virus herpes simplex tipe 1 dan 2 juga menyebar luas di seluruh dunia. Infeksinya menyebabkan peradangan di bibir dan herpes pada alat kelamin. Atau juga sitomegalovirus yang memicu komplikasi berat dan kerusakan organ tubuh pada orang-orang yang mengidap penyakit melemahnya sistem kekebalan tubuh.
Virus epstein-barr dan kaposi-sarkoma, yakni virus herpes terkait bisa memicu munculnya tumor. Atau virus herpes manusia tipe 6 dan 7 yang juga menyebar luas dan jadi pemicu penyakit ”demam tiga hari" pada anak-anak.
Hidup laten di dalam tubuh
"Yang paling penting terkait virus herpes adalah setelah infeksi pertama, virusnya akan tetap berada dalam tubuh secara laten,” kata Lars Dölken, pakar virologi dari Universitas Würzburg. Dengan itu, Dölken menegaskan kesamaan terpenting dari keluarga virus tersebut.
Ia bersama rekan-rekan peneliti lainnya ingin lebih mamahami mekanisme apa yang ada di belakang kasus bangkitnya kembali secara tiba-tiba patogen tersebut. Tim peneliti terutama menyoroti virus herpes manusia 6a atau HHV6A.
Hasil riset tim peneliti itu sudah dirilis dalam jurnal ilmiah Nature. Mereka menemukan sebuah mekanisme selular yang belum dikenal, yang ibaratnya membangunkan virus itu dari tidur panjangnya.
Antara fase aktif dan fase tidur
Mereka yang untuk pertama kalinya terinfeksi virus herpes, kebanyakan tidak menyadari hal tersebut. Masalah biasanya muncul saat reaktivasi virusnya dari fase dormant di dalam tubuh. Virus sering kali "bangun" dan menyerang tubuh, memanfaatkan fase di mana sistem imunitas lemah, karena sedang memerangi penyakit lainnya. Bisa saja itu hanya penyakit influenza biasa atau juga penyakit yang lebih berat. Terutama yang paling ringkih adalahpara pengidap HIV atau juga orang yang mendapat cangkok organ tubuh, dan secara terarah dilemahkan sistem imunitasnya.
Virus HHV-6A menyatu dengan genom sel manusia dan berdiam di sana dalam fase laten, hingga terdapat kesempatan bagus untuk kembali menyerang dan berkembang biak. Sebuah Mikro-RNA tertentu berperan dalam mekanisme reaktivasi virusnya.
"Hampir semua virus Herpes membentuk Mikro-RNA, karena ini sangat penting bagi virusnya. Tapi tidak ada contoh satu spesies pun virus herpes yang membuktikan Mikro-RNA memiliki peran fundamental. Jika kami non aktifkan Mikro-RNA viral ini, maka virusnya juga akan mati”, ujar pakar virologi Dölken.
Sebuah Mikro-RNA virus sebagai regulator utama
Mikro-RNA sangat berbeda dengan mRNA, karena tidak bertangung jawab untuk membawa cetak biru protein tertentu. Mereka termasuk RNA non-coding. Lebih jauh lagi Mikro-RNA ini menyerang metabolisme tertentu pada Mikro-RNA manusia dan mencegah perkembangannya.
Sebagai dampaknya, produksi apa yang disebut Interferon type-I akan terganggu. Ini adalah unsur pembawa pesan, di mana dengan itu sel melaporkan keberadaan virus kepada sistem kekebalan tubuh. "Namun, dipastikan ini bukan satu-satunya mekanisme yang disabot," kata pakar virologi Dölken. Riset yang mereka lakukan ibaratnya baru menggaruk bagian permukaannya.
Mikro-RNA virus memungkinkan virus herpes mengelak dari sergapan sistem kekebalan tubuh. Atau lebih tepat lagi sel B dan Sel T yang mengeliminasi sel manusia yang terinfeksi. "Sel-sel ini mengenali protein asing bagi tubuh manusia, misalnya dari sebuah virus."
"Virus herpes dengan bantuan RNA mampu memprogram ulang sel inang dan menyalahgunakannya untuk keuntungan virus. Dengan begitu sel B dan sel T yang merupakan sistem kekebalan tubuh yang memiliki memori pada protein asing, tidak mampu lagi mengenali bahwa selnya sudah terinfeksi," papar ahli virologi dari Universitas Würzburg itu.
Dari COVID-19 ke herpes ke Long-COVID?
Temuan sebuah Mikro-RNA virus yang memegang peranan kunci, semacam "regulator utama” seperti yang disebut oleh Dölken itu, menyebabkan tim periset tidak mungkin melakukan uji coba pada kultur sel untuk mencegah reaktivasi virus herpes.
Namun, pengetahuan yang dihimpun dari berbagai penelitian lanjutan, boleh jadi di masa depan akan berfungsi sebaliknya, yakni membantu reaktivasi sel virus laten dalam tubuh, yang dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh dan segera dieliminasi. Dölken mengatakan; sebelum melakukan transplantasi organ tubuh, sangat bagus jika dapat menon-aktifkan sel yang terinfeksi virus herpes.
Penelitian pakar virologi dari Würzburg itu juga dapat memberikan kontribusi untuk solusi masalah lainnya, yakni Long-COVID. Karena virus herpes sangat sering melakukan reaktivasi diri dan ikut menyerang sistem imunitas yang sedang lemah, para ilmuwan punya kecurigaan virusnya ikut terlibat dalam beragam gejala penyakit pada Long-COVID.
"Salah satu dugaan paling kuat akibat infeksi corona, reaktiviasi virus herpes terpicu, dan menyebabkan kerusakan sekunder,” pungkas Dölken. Hingga kini para peneliti masih lebih banyak mengajukan pertanyaan ketimbang mendapat jawaban. Namun, paling tidak sudah ada beberapa terduga utama dan salah satunya virus herpes HHV6.
(as/vlz)