Bagaimana Mengukur Optimisme dan Pesimisme Publik?
29 Desember 2021Bagaimana cara mengukur kebahagiaan, optimisme maupun harapan publik secara global? Apakah ada kecenderungan yang berlaku hampir di mana saja? Apa dampak pandemi corona terhadap sikap dan pandangan warga di suatu negara? Semua itu adalah pekerjaan rutin bagi lembaga penelitian opini publik Gallup International.
DW: Bagaimana tahun 2021 Anda? Dan apa harapan Anda sendiri untuk 2022?
Kancho Stoychev: Saya hanya ingin mengingat hal-hal baik, jadi setiap tahun adalah tahun yang hebat bagi saya. Mengenai masa depan, kalau saya tidak salah ingat, Einstein mengatakan bahwa jika Anda ingin membuat Tuhan tertawa, sampaikan padanya rencana masa depan Anda. Karena hanya ada satu hal yang kita tahu pasti, dan itu adalah, untungnya, bahwa kita tidak bisa mengetahui masa depan kita, meskipun kita sering berpikir kita bisa. Jadi saya merasa jauh lebih nyaman berbicara tentang keinginan daripada tentang harapan.
Apa yang dikatakan survei akhir Tahun Gallup Internasional tentang tahun 2021 dan 2022?
Hasilnya memberi tahu kita bahwa opini publik global sangat prihatin tentang prospek ekonomi dan memperkirakan akan ada pendalaman krisis. Eropa memimpin dalam opini itu, terutama Eropa Timur, di mana rata-rata sekitar dua pertiga penduduknya menunjukkan harapan yang memburuk. Dukungan keuangan negara yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi individu dan bisnis masih memainkan peran positif tahun lalu, dan membatasi penyebaran pesimisme massa. Namun tampaknya, situasi terburuk belum tiba. Tahun sebelumnya ditandai dengan harapan bahwa vaksin COVID akan mengakhiri pandemi. Namun, tahun ini berakhir dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Dengan terganggunya rantai pasokan global dan ledakan harga energi, ketidakpuasan massal dan ketegangan politik akan tumbuh, tidak hanya — dan bahkan tidak secara dominan — di negara-negara kurang berkembang.
Negara apa yang paling bahagia di dunia tahun ini?
Secara tradisional — kami telah melakukan studi pelacakan global ini selama lebih dari 40 tahun — negara paling bahagia bukanlah salah satu yang terkaya, dan bahkan bukan di antara negara-negara paling maju. Tahun ini, Kolombia ada di tempat teratas dengan skor 79%. Biasanya, negara-negara dengan populasi yang lebih muda berada di depan dalam peringkat ini. Masyarakat yang lebih kaya biasanya lebih tua dan kurang bahagia. Namun, menyatakan bahagia atau tidak bahagia mencakup banyak prasangka dan stigma budaya, yang secara psikologis dan nasional cukup spesifik. Kebahagiaan paling sering dirasakan karena tidak adanya sesuatu: tidak adanya penyakit, kemiskinan, atau penindasan. Ini adalah sikap subjektif yang tidak dapat diukur dengan mikroskop, tetapi memainkan peran penting dalam kehidupan kita.
Negara asal Anda, Bulgaria, adalah negara paling pesimis kedua di planet ini, bahkan lebih dari Afganistan. Mengapa demikian?
Dengan mengukur optimisme dan pesimisme, kita mencatat sikap publik — bukan sikap pribadi. Suasana pesimis Bulgaria terutama disebabkan oleh ketidakpercayaan pada elit, terutama elit politiknya. Pesimisme di Bulgaria adalah realisme; itu bukan karena mimpi publik yang gagal. Ini lebih merupakan kecaman terhadap cara masyarakat Bulgaria berfungsi dan, dalam hal itu, ini lebih merupakan sikap yang positif dan produktif. Ukuran kebahagiaan kita adalah penilaian diri. Dan di sini kita dapat melihat bahwa orang Bulgaria agak bahagia, atau setidaknya sama bahagianya, dengan, misalnya orang Jerman.
Apa yang diungkapkan penelitian ini tentang Jerman?
Orang Jerman tampaknya secara signifikan kurang optimis daripada beberapa tahun terakhir, dan dalam hal itu mereka berada di bawah rata-rata global dan bahkan UE. Kecemasan tentang ekonomi juga lebih tinggi. Hampir 50% menyatakan kebahagiaan pribadi, sedangkan indeks yang sama di negara-negara maju yang sebanding seperti Jepang dan Amerika Serikat jauh lebih tinggi. Apa yang terlihat dari jajak pendapat itu adalah bahwa kesadaran orang Jerman entah bagaimana terganggu, lelah dan tidak percaya diri. Ini bisa berasal dari ketidakpastian yang kompleks - tentang penguncian, vaksin, formula rumit pemerintah baru, kinerja Uni Eropa yang lemah, konfrontasi tajam antara Barat dan Rusia, atau tentang Cina.
Bagaimana pandemi virus corona memengaruhi harapan dan kebahagiaan?
Orang-orang di seluruh dunia mulai lelah. Dulu, kesibukan utama merea adalah merencanakan masa depan: Ke mana saya akan pergi berlibur berikutnya? Mobil baru mana yang akan saya beli? Mereka tahu jawabannya. Namun sekarang, "normal baru" terasa seperti sesuatu yang tidak normal, karena kita serba tidak pasti.
Bagaimana caranya mengukur harapan, kebahagiaan, dan optimisme?
Ilmuwan polling selalu mengukur faktor-faktor yang "soft" dan subjektif, karena kesadaran manusia seperti itu, fleksibel dan subjektif. Namun, dengan mengukur ciri-ciri yang subjektif, kita mendapatkan sesuatu yang sangat kuat dan sangat objektif, yaitu opini publik, yang merupakan sanksi kolektif yang kuat dalam masyarakat demokratis. Jadi, dengan jajak pendapat secara luas, kami tidak mencari sikap atau preferensi individu mereka, tetapi mencoba untuk mencerminkan persepsi publik.
Setelah bertahun-tahun melakukan polling dan mengukur kebahagiaan, dan harapan, apakah Anda sendiri menjadi seorang yang optimis?
Beberapa pemikir paling terkenal mengatakan, menjadi seorang yang optimis tidak akan sejalan dengan menjadi orang yang bijaksana. Itu sebabnya, saya lebih memilih untuk tidak optimis.
Kancho Stoychev adalah Presiden Gallup International Association (GIA), lembaga riset pasar dan opini. Sejak 1979, lembaga survei GIA telah mengukur harapan, kebahagiaan, dan ekspektasi ekonomi di seluruh dunia. Untuk tahun 2022, GIA menemukan bahwa, terlepas dari peristiwa tahun lalu, banyak orang menatap masa depan dengan harapan: 38% responden percaya bahwa 2022 akan lebih baik dari tahun 2021, dibandingkan dengan 28% yang mengharapkan tahun yang lebih buruk dan 2% yang percaya bahwa 2022 tidak akan berbeda dengan 2021. Menurut survei, Indonesia adalah negara paling optimis di dunia dan Turki paling pesimis; Kolombia adalah negara yang paling bahagia dan Afganistan yang paling tidak bahagia. Wawancara untuk DW dilaksanakan oleh Christopher Nehring.
(hp/ha)