Bagaimana Pariwisata Indonesia Bertahan di Tengah Pandemi
6 September 2020Enam bulan dilanda pandemi COVID-19 membuat kondisi perekonomian Indonesia babak belur. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 terkontraksi cukup dalam hingga -5,32%. Jika kuartal III pertumbuhan ekonomi kembali terkontraksi, maka Indonesia dipastikan masuk jurang resesi. Sejumlah sektor industri pun alami kerugian akibat pandemi virus SARS-CoV-2 yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina, akhir tahun lalu ini, tak terkecuali industri pariwisata.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat, hingga April 2020, total kerugian industri pariwisata Indonesia mencapai Rp 85,7 trilun. Ribuan hotel dan restoran terpaksa tutup, begitu pula dengan sejumlah maskapai penerbangan dan tour operator yang ikut alami kerugian.
Berdasarkan data Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) jumlah kunjungan wisatawan di seluruh dunia menurun 44 persen selama pandemi jika dibandingkan tahun lalu. Dalam sebuah diskusi online awal bulan lalu, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrasturktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Hari Santosa Sungkari, memprediksi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia mentok di angka 4 juta orang.
"Menurut perkiraan kami situasi pariwisata yang kalau harusnya sebelum ada Covid adalah itu 18 juta dulu, sekarang tahun ini sekitar 2,8-4 juta wisatawan, yang harusnya 18 juta," ujar Hari.
Bahkan Bali yang merupakan salah satu destinasi favorit wisatawan domestik maupun mancanegara, masih harus menutup pintu untuk wisman hingga akhir tahun sebagai upaya menahan laju penyebaran virus corona di Tanah Air. Pulau Dewata pun mencatat kerugian pariwisata Rp 9,7 triliun setiap bulan.
Anjloknya kunjungan ini praktis berimbas kepada pemasukan pelaku-pelaku pariwisata di daerah. Namun, terus meningkatnya kasus positif COVID-19 dinilai juga menjadi tantangan dalam pemulihan sektor pariwisata Indonesia. Maka dai itu, demi membantu mereka yang “menderita”, Kemenparekraf siapkan berbagai kebijakan, salah satunya lewat dana hibah pariwisata.
“Saat ini tengah kami siapkan juknisnya bersama dengan Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah Kemenkeu,“ terang Fadjar Hutomo, Deputi Bidang Industri dan Investasi Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Jumat (04/09) sore, saat dihubungi DW Indonesia.
Fadjar pun menjelaskan dana hibah ini digunakan “untuk peningkatan implementasi CHSE (Cleanliness, Healthy, Safety, Environment Friendly) guna meningkatkan kesiapan daerah dan industri pariwisata di daerah dalam menerapkan protokol kesehatan.”
Tepat sasaran
Pakar kreatif strategi pariwisata, Taufan Rahmadi, mengapresiasi langkah-langkah yang telah disiapkan Kemenparekraf dalam upaya memulihkan sektor pariwisata Indonesia di tengah pandemi sejauh ini. Namun menurutnya, kebijakan-kebijakan yang disiapkan harus mampu menjangkau pelaku-pelaku industri pariwisata secara merata.
“Pertanyannya apakah program yang sudah dilakukan saat ini sudah merata atau tidak? Jangan pendekatannya dengan pendekatan proyek semata,” ujar Taufan saat diwawancarai DW Indonesia, Jumat (04/09) sore.
Ia berpendapat bahwa partisipasi masyarakat menjadi penting dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang ada. Hal ini agar kebijakan-kebijakan yang diberikan nantinya tepat sasaran.
”Deteksi mereka, apa yang jadi kebutuhan tourism society saat ini? Sehingga apa? Mereka terlibat di dalamnya, mereka merasa memiliki program kementerian pariwisata itu. Jangan eksklusif, harus inklusif,” ungkap Taufan.
Destinasi new normal
Berdasarkan panduan UNWTO, negara-negara yang selama ini menggantungkan pendapatan melalui sektor pariwisata harus mulai mengembangkan visi pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Hal ini penting karena destinasi wisata yang mengembangkan visi ini dianggap mampu terus berlanjut meskipun ada tantangan, tak terkecuali di saat pandemi.
Pariwisata berkelanjutan didefinisikan UNWTO sebagai pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan, dan masyarakat setempat.
Panduan UNWTO juga menganjurkan negara-negara saat ini untuk fokus kepada pasar turis lokal hingga nantinya destinasi wisata siap sepenuhnya dibuka untuk pasar yang lebih besar yakni wisman. Hal ini pun diamini oleh Taufan. Ia mengusulkan pemerintah untuk mengembangkan destinasi wisata dengan protokol kesehatan yang ketat.
“Pastikan ada destinasi yang memang dia itu new normal destination. Yang secara konsisten mereka menjadi percontohan daripada itu. Sehingga apa? Turis lokal atau wisatawan nusantara ada yang mau berkunjung,“ katanya.
“Jangan dulu kita promosi besar-besaran ke luar negeri, percuma itu. Anggaran yang serba terbatas sekarng ini fokuskan pada pembenahan destinasi,“ ia menambahkan.
Taufan yang juga penulis buku Protokol Destinasi ini berpendapat bahwa desa wisata bisa menjadi opsi dari new normal destination. “Ketika wisatawan lokal di bosan di rumahnya, selain staycation di hotel misalnya, dia bisa jalan-jalan ke desa wisata. Dengan desa wisata bisa maju paling tidak UMKM, mesin daripada ekonomi di bisnis mikro,“ jelas Taufan.
Namun, seperti yang dijelaskan Deputi Bidang Industri dan Investasi Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Fadjar Hutomo, dalam mendorong suatu destinasi wisata diperlukan ekosistem pariwisata yang ramah.
“Mendorong pembangunan industri pariwisata di destinasi wisata tentunya melalui upaya menghadirkan ekosistem pariwisata - 3A (Amenitas, Atraksi, Aksesibilitas) di destinasi wisata tersebut,“ pungkasnya kepada DW Indonesia.
rap/yp (dari berbagai sumber)