Bagaimana Sejarah Akan Menilai Generasi Pemilih 2019?
20 April 2019Pada sebuah Jumat di sudut Jakarta seorang ayah menggandeng putri kecilnya keluar dari halaman masjid. Pemilu baru saja berakhir. Genderang politik yang ditabuhkan dari Jalan Kertanegara No. 4 masih mengiang kuat dalam ruang sosial kaum urban ibukota. Sang ayah dengan cepat menemukan teman berbincang. Suasana terasa serius. Keraguan akibat hasil penghitungan cepat belum lenyap. Dalam perbincangan kecil itu semua berusaha saling menguatkan satu sama lain.
Tiba-tiba sang ayah bertanya kepada putrinya dalam nada rendah, "Jadi siapa yang menang, sayang?”
"Pra..bo.wo,” tuturnya terbata-bata.
Dan dia pun tersenyum bangga.
Di Kertanegara beberapa malam silam simpatisan Prabowo Subianto merapat dalam jumlah besar. Beberapa bocah yang berusia tak lebih dari 10 tahun ikut serta dalam perjumpaan raksasa itu. Mereka yang minimal harus menunggu dua pemilu untuk bisa mencoblos hanya merapal ulang bait-bait poltik yang disematkan orangtua. Di tengah kontestasi politik yang emosional dan cendrung irrasional, keberadaan mereka menjadi indikator muram kedewasaan berpolitik kita. Karena di GBK pada kampanye akbar Joko Widodo,Sabtu, 13 April lalu, situasinya tak jauh berbeda.
Kekuasaan atau kemanusiaan?
Pemilu adalah sebuah institusi. Kita merayakannya dalam ritual setiap lima tahun, mengabadikannya dalam lirik-lirik lagu dan yel-yel yang mudah diucap dan diingat. Namun di balik banalitas tersebut, pada satu titik di tengah perjalanan politik menuju 17 April, kita semua dihadapkan pada pertanyaan yang sama tentang signifikasi pilihan kita: Apa yang lebih penting, kemanusiaan atau kekuasaan?
Banyak yang terbuai oleh pilihan kedua. Hal itu terlihat dari pola komunikasi dehumanis yang dirawat selama masa kampanye. Manusia direndahkan. Harkat dan martabat dilucuti. Penghinaan menjadi makanan sehari-hari.
Saat perpecahan terjadi
Maka perpecahan terjadi dalam ruang-ruang intim, di lingkup keluarga, pertemanan, lingkungan rumah tinggal hingga di media sosial. Tidak sedikit yang dimusuhi dan dikucilkan karena pilihan politik. Kehangatan yang seharusnya mempertemukan, mendingin oleh fanatisme yang sinis.
Dan anak-anak yang dulu merayakan kampanye bagai sebuah pesta rakyat, sejak beberapa pemilu terakhir disandera di tengah pergulatan antara iman dan ideologi. Seakan kebencian ingin diwariskan.
Lalu mereka yang pro-konservasi, memilih menutup mata terhadap kerusakan lingkungan oleh aktor politik untuk melanggengkan kekuasaan individu tertentu. Mereka yang pro kemanusiaan, membenarkan pemberangusan hak sipil demi memenangkan calon pilihannya. Agama dibajak untuk nafsu kuasa. Golput dianggap sikap apatis dan dicemooh agar tak mengeluh jika salah satu paslon menang. Tidak ada lagi ruang bagi kritik sehat. Ia dicurigai, diharamkan dan tak diinginkan. Terutama jelang hari pencoblosan.
Indonesia adalah miniatur padat sebuah gagasan besar tentang persatuan. Hanya karena itu ia menjadi nyata. Dan sebab itu tidak pernah ilusif. Ketika spanduk dan baliho diturunkan, ketika pemilih pulang dan sengketa angka elektoral dilupakan, kita sepatutnya bertanya bagaimana sejarah kelak akan menilai generasi pemilih 2019.
* @riz_nr , editor DW Indonesia.
** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: [email protected]. Sertakan satu foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.