Barter Makanan, Tren Terbaru di Berlin
27 Februari 2014Pada sebuah malam Rabu di distrik Charlottenburg, acara komunitas Cooks Connection diramaikan bertoples-toples acar, kimchi pedas, dan dadih lemon. Kue-kue dikemas dengan cantik dan permen menghiasi meja. Semuanya terlihat lezat. Tapi untuk mencoba, seseorang harus membawa sesuatu untuk ditukarkan.
Selamat datang di foodXchange Berlin, pertemuan bulanan koki andal dan penggemar makanan lokal yang lebih tertarik bertukar makanan ketimbang membeli.
Terinspirasi oleh kelompok barter makanan di Inggris, Apples to Eggs, seorang konsultan makanan Cathrin Brandes membentuk komunitas ini tahun 2013. Sekarang peserta foodXchange kebanyakan perempuan dan sejumlah lelaki berusia 30-an dan 40-an.
Para peserta menghabiskan paruh pertama pertemuan mendiskusikan apa yang mereka bawa. Kemudian mereka membahas apa saja yang bersedia mereka barter. Minuman keras berinfusi dan makanan yang diawetkan biasanya bernilai lebih ketimbang kue hasil panggang. Pada paruh kedua, suasana menjadi lebih hidup saat semua orang sibuk barter.
Ikatan antar peserta barter
"Umumnya peserta sudah sangat sadar. Mereka senang dengan ide barter dan bukan menggunakan uang, dan saya rasa itu salah satu daya tariknya," ungkap Brandes. "Semangatnya justru di situ, untuk tidak memakai uang, untuk memberi makanan nilai yang berbeda."
Bagi Malin Elmlid dari Bread Exchange, ketertarikannya juga muncul dari ikatan antar peserta barter. Elmlid membentuk jaringannya tahun 2009, saat dirinya kelebihan roti adonan asam usai memanggang untuk memuaskan seleranya untuk produk berkualitas. Selama hampir 2 tahun, setiap kali ia membagi-bagikan roti kepada teman dan temannya teman. Perlahan temannya mulai menawarkan balik sesuatu; barter pertamanya dengan foto-foto kuno dan tiket untuk orkes simfoni Berlin.
Meski Elmlid tidak memulai Bread Exchange dengan niat menciptakan jaringan pertemanan yang luas, ia kini menyadari betapa pentingnya kepercayaan dalam sistem barter modern. "Tidak ada yang mau barter dengan roti saya kalau saya tidak dikenal," ucapnya. "Kalau seseorang menaruh selai di depan pintu rumah, saya tidak akan memakannya. Semuanya tergantung seberapa terpercayanya saya."
Memberi makna pada makanan
Lima tahun kemudian Elmlid sudah melakukan lebih dari 1.300 barter, menukarkan rotinya dengan garam Israel, tepung organik, dan bahkan akomodasi di berbagai penjuru Eropa dan Maroko, Kabul serta Santa Rosa, Kalifornia.
Barter terjadi karena banyak alasan - ada yang karena teman, ada yang tertarik pada jaringan barter dan kebanyakan tergoda untuk mencoba rasa roti adonan asam buatan Elmlid. Rasa ingin tahu juga melatarbelakangi barter. "Yang terlihat adalah ketertarikan untuk mendapatkan kisah dan mencari nilai di balik makanan yang disantap, karena makanan yang kita beli di supermarket tidak ada nilainya," papar Elmlid. "Makanan terasa lebih lezat apabila kita mengetahui dari mana asalnya."