1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Bayi di Luar Nikah Dobrak Tradisi Korea Selatan

19 September 2024

Saat Korsel mencatat rekor kelahiran terendah, banyak generasi sebelumnya tetap masih merasa ngeri soal ide orang tua tunggal. Tetapi, kaum mudanya lebih memilih konsep keluarga menurut mereka sendiri.

https://p.dw.com/p/4kom5
Ilustrasi bayi
Korea Selatan punya lebih sedikit bayi ketimbang yang dibutuhkannya demi mempertahankan 51 juta penduduknyaFoto: KIM JAE-HWAN/AFP/Getty Images

Korea Selatan (Korsel) sedang berada di tengah krisis populasi, tapi ada satu segmen masyarakat yang uniknya memiliki lebih banyak bayi ketimbang sebelumnya. Anak-anak in lahir dari ibu yang tidak menikah.

Pada tahun 2023, negara Asia yang berpenduduk sekitar 51 juta ini mengalami rekor terendah tingkat kelahiran. Dipandang secara luas sebagai masyarakat yang konservatif dan berpikiran tradisional, tapi para analis berpendapat kalau pergeseran bertahap sedang terjadi di antara generasi muda di Korea yang modern, dengan perubahan sikap terhadap konsep pernikahan, pekerjaan dan keluarga.

Di saat yang bersamaan, orang dari generasi yang lebih tua di Korea Selatan tetap berpegang teguh pada standar yang mereka anggap layak.

”Ada prasangka yang tertanam kuat terhadap perempuan yang menjadi ibu di luar pernikahan dalam masyarakat Korea,” kata seorang asisten profesor politik dan etika di Universitas Nasional Chungnam, Hyobin Lee.

”Di Korea, seorang perempuan yang memiliki anak tanpa menikah dianggap tidak memiliki pembelaan; dia secara otomatis dianggap bersalah,” ujar dia kepada DW. ”Itu bukan hanya sikap terhadap ibu yang tidak menikah, tapi juga pada perempuan yang bercerai dan janda, yang sering dipandang rendah dan distigmatisasi dalam masyarakat tradisional Korea.”

Satu dari 20 anak lahir di luar nikah

”Para perempuan ini sering dianggap kurang diinginkan untuk menikah kembali, dan dalam beberapa kasus, orang tua perempuan itu akan mendaftarkan anaknya dengan nama sendiri demi menyembunyikan kebenaran,” jelas dia. ”Para perempuan ini dicap sebagai 'perempuan yang tak punya tujuan atau 'perempuan yang bernasib buruk,' yang menyiratkan kalau mereka harus dihindari.”

”Menariknya, hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada kritik sama sekali ditujukan kepada laki-laki yang terlibat dalam situasi ini,” sebut dia. ”Dalam masyarakat patriarki, stigma terhadap anak yang lahir di luar nikah tampaknya tidak dapat dihindari.”

Namun, angka terbaru yang dikeluarkan pemerintah menunjukkan bahwa tabu ini tidak sekuat dulu.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Data yang dirilis pada 28 Agustus oleh Badan Statistik Korea Selatan menunjukkan bahwa hanya 230.000 bayi yang lahir di seluruh negeri pada tahun 2023, jumlah ini turun 7,7% dari tahun sebelumnya dan merupakan angka terendah sejak data pertama kali dikumpulkan pada tahun 1970.

Tingkat kesuburan, atau rata-rata jumlah anak yang akan dimiliki seorang perempuan selama hidupnya, juga turun ke titik terendah baru yaitu 0,72, turun dari 0,78 pada tahun 2022. Demi memastikan populasi Korsel tetap stabil, tingkat kesuburan harus berada di angka 2,10.

Namun, sekitar 10.900 bayi lahir dari perempuan yang tidak menikah atau dalam ikatan, terhitung 4,7% dari jumlah total dan merupakan angka tertinggi sejak statistik pertama kali dikumpulkan pada tahun 1981. Meskipun angka tersebut mungkin relatif kecil dibandingkan dengan negara lain, jumlahnya terus meningkat dari 7.700 kelahiran di luar nikah pada tahun 2021, menjadi 9.800 pada tahun 2022.

Gerakan 4B dan Angka Kelahiran di Korea Selatan

Perceraian miliaran dolar mendorong perubahan sosial

Hubungan kasual telah menjadi lebih umum di Korea Selatan, sebagian karena polarisasi ekonomi yang membuat kaum muda lebih sulit mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi dan kemudian memulai sebuah keluarga.

Sebuah penelitian yang diterbitkan tahun 2023 menyatakan Korsel sebagai negara termahal di dunia untuk membesarkan anak. Perubahan adat istiadat sosial juga mencakup lebih banyak perceraian, termasuk yang melibatkan pasangan terkenal dan kaya, perpisahannya yang berantakan dimainkan sebagai berita yang laku di tabloid dan sering kali juga dibumbui tuduhan perselingkuhan.

Pada bulan Mei, pengadilan di Seoul memerintahkan pengusaha miliarder Chey Tae-Won untuk membayar 1,38 triliun won ($1,04 miliar atau setara Rp15.881 triliun) dalam bentuk harta dan tambahan tunjangan sebesar 2 miliar won (setara Rp11.469 miliar) untuk istrinya yang diceraikan, Roh Soh-Yeung dalam gugatan cerai termahal dalam sejarah Korea Selatan.

Pada tahun 2015, Chey Tae-Won mengakui bahwa dia memiliki pasangan baru dan telah menjadi ayah dari seorang anak di luar pernikahannya, yang memicu serangkaian gugatan dan penuntutan balik yang memakan waktu sembilan tahun pengadilan.

"Kasus ini telah menjadi pemberitaan di media selama bertahun-tahun, dan bagi saya, mulai mengubah pandangan publik tentang pernikahan di Korea,” ujar profesor hukum Park Jung-Won dari Universitas Dankook kepada DW.

Profesor Hyobin Lee, dari Universitas Nasional Chungnam, menunjukkan sejumlah titik kritis lain yang mungkin terjadi dalam sikap sosial. Pada tahun 2020, Sayuri Fujita, seorang personalita televisi Jepang yang memiliki banyak pengikut di Korea Selatan mengonfirmasi, putranya yang baru lahir, dikandung melalui sperma yang disumbangkan dan dia belum menikah.

Demikian pula, seorang kontestan di acara TV populer "I am Solo” mengatakan bahwa dia belum menikah tetapi menginginkan anak, sehingga dia memiliki seorang putra dengan mantan pacarnya dan membesarkannya sebagai orang tua tunggal.

Orang tua tunggal dapat prioritas untuk pengasuhan anak dan perumahan

"Cerita seperti ini sudah tidak asing lagi di masyarakat Korea,” ujar Lee. "Beberapa perempuan menginginkan seorang anak, tapi tidak dapat menemukan pasangan yang cocok, atau mereka hamil saat menjalin hubungan dan memilih untuk memiliki anak dan membesarkannya sendiri.”

Dan meskipun istilah Korea Selatan untuk anak yang lahir di luar nikah "horojasik” masih sering digunakan sebagai penghinaan, Lee telah melihat perubahan sikap yang bergeser menjadi kebijakan pemerintah.

"Dengan tingkat kelahiran yang mencapai titik terendah dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kebijakan kesejahteraan diterapkan untuk mendukung anak-anak dari keluarga dengan orang tua tunggal,” paparnya. Kebijakan-kebijakan itu termasuk pengurangan pajak dan pemberian prioritas kepada anak-anak dari orang tua tunggal, ketika mereka mendaftar ke taman kanak-kanak atau tempat penitipan anak, dan juga ketika mereka mengajukan permohonan untuk mendapatkan perumahan umum.

"Di masa lalu, kebijakan kesejahteraan terutama difokuskan untuk mendorong tingkat kelahiran dalam keluarga 'bahagia' dan 'normal',” terang Lee. "Namun, sekarang ada upaya yang lebih besar untuk mengikutsertakan dan mendukung keluarga-keluarga yang memiliki anak yang lahir di luar nikah.”

Editor: Darko Janjevic, artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris.

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.