Beda Pandangan Prabowo dan Jokowi Soal HAM
17 Januari 2019Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia menjadi pedang bermata dua dalam debat pertama calon presiden dan wakil presiden jelang Pemilu 2019. Joko Widodo yang menanggung beban moral sebagai penguasa mengaku kesulitan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Tidak mudah menyelesaikannya, karena masalah kompleksitas hukum, masalah pembuktian dan waktu yang terlalu jauh. Seharusnya ini sudah selesai setelah peristiwa itu terjadi. Tapi kami tetap berkomitmen;" kata dia ketika membeberkan visi misi.
“Reformasi kelembagaan dan penguatan sistem manajemen hukum dan budaya taat hukum harus terus kita perbaharui. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu," ujarnya.
Menurut pegiat HAM Andreas Harsono, presiden bersikap "realistis" terkait pengungkapan pelanggaran HAM.
"Ini tidak mudah. Lihat saja berbagai tuduhan terhadap Prabowo, dari Timor Timur sampai penculikan aktivis yang sekarang justru berdiri sebagai calon presiden. Ini menunjukkan banyak kesalahan dalam sistem hukum di Indonesia. Jokowi mencoba dengan simposium soal insiden 1965 pada 2016. Namun dia mundur ketika dia sendiri dituduh sebagai PKI."
Bukan hanya isu PKI, selama pemerintahan Jokowi, Indonesia mencatat berbagai dugaan pelanggaran, antara lain hukuman mati, intoleransi dan diskriminasi kelompok minoritas, konflik agraria dan Papua.
Khususnya Papua tiga peristiwa berdarah disodorkan oleh aktivis untuk dibahas, yakni insiden di Wasior, 2001, yang mencatat empat orang tewas dan lima masih dinyatakan hilang. Sementara 39 orang mengaku disiksa oleh aparat keamanan. Selain itu ada kasus Wamena pada 2003, di mana penyisiran oleh polisi menyisakan 42 orang tewas dan 15 ditangkap, serta peristiwa Paniai, 2014, yang menyebabkan empat murid SMA meninggal dunia.
Baca juga:Isu HAM Bakal Sudutkan Kedua Paslon Pada Debat Capres
Namun isu Papua dilewatkan oleh kedua paslon. Padahal, menurut Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan, "Papua bisa menjadi role model buat penyelesaian permasalahan HAM, karena ketimpangannya kan begitu nyata dan kalau kita bisa menyelesaikan masalah Papua, saya pikir itu akan membuka jalan bagi persoalan ketimpangan lain di Indonesia timur," ujarnya saat dihubungi DW.
Sementara pengacara Komisi Nasional Papua Barat, Veronica Koman, menilai jalannya debat yang mengabaikan isu Papua "ironis" mengingat jumlah pengungsi yang muncul akibat operasi keamanan di Nduga.
"Makin terbukti bahwa nasib orang Papua tidak pernah menjadi prioritas di negeri ini. Yang acap kali dipedulikan hanyalah sumber daya alamnya, seperti bagaimana seantero negeri ini jungkir balik memberi komentar soal divestasi Freeport yang bahkan tidak ada orang Papua yang dikonsultasikan ketika itu," kata dia kepada DW.
Berbeda dengan Jokowi, Prabowo Subianto melihat masalah penegakan HAM "bermuara" pada kesejahteraan aparat negara yang menurutnya masih terlalu rendah. Dia pun berjanji akan meningkatkan gaji aparat keamanan dan peradilan.
"Karena itu kami dalam menghadapi masalah hukum, HAM dan terorisme, kami ingin menyelesaikan dari muara masalah, yakni kita harus cukup uang untuk menjamin kualitas hidup semua petugas yang berwenang mengambil keputusan sehingga mereka tidak bisa dikorupsi," imbuhnya sebelum menambahkan, "ini adalah strategi kami."
Baca juga: Advokat HAM Papua Tuntut Pembebasan Tiga Aktivis KNPB
Lebih lanjut Prabowo berjanji akan menindak tegas aparat negara yang melakukan diskriminasi terhadap minoritas. Hal ini diapresiasi oleh Andreas Harsono. Menurutnya janji tersebut bisa "menarik suara pemilih," terutama kaum minoritas yang mewakili porsi besar pemilih.
"Saya kira suara pemilih minoritas jadi penting ketika kedua kubu relatif sudah punya basis pemilih Muslim yang mapan. Pergulatannya sekarang adalah mencari suara minoritas. Kristen hampir 10 persen penduduk Indonesia. Mereka bisa mengubah siapa menang dalam pilpres."
Namun demikian menurut Andreas ada "gajah dalam debat" yang tidak dibahas. "Ia berupa kenyataan bahwa seorang jenderal macam Prabowo, dengan berbagai tuduhan serius soal pembunuhan extrajudicial dan penghilangan paksa, bisa jadi calon presiden tanpa pernah mempertanggungjawabkan semua tuduhan tsb di depan hukum. Kenyataan ini mengatakan dengan terang-benderang bahwa ada banyak kekurangan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia."
rzn/rap (ed:hp)