Belanda dan Masa Lampau Kolonialnya
20 Agustus 2015Tujuh puluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda si bekas penjajah masih saja dihantui oleh masa lampau kolonial itu. Lalu apa yang harus dilakukan Indonesia? Apakah Indonesia akan diam dan mengamati saja setiap ada ribut-ribut di bekas negeri induk? Yakinkah orang Indonesia bahwa dia tidak membebek Belanda: melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia besar-besaran di negeri lain?
Beberapa hari menjelang peringatan 70 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, persisnya pada hari Jumat 14 Agustus lalu, NRC Handelsblad —harian sore Belanda terbitan Amsterdam— datang dengan berita kejutan. Gebrakan ini berdampak ribut-ribut dalam pers Belanda dan terus terbawa sampai pekan ini, saat tulisan ini dibuat.
Kejutan yang lumayan besar itu terpusat pada hasil penelitian sejarawan Rémy Limpach yang menegaskan bahwa kekerasan tentara Belanda pada zaman perang kemerdekaan dulu bersifat struktural, bukan ekses semata. Begini kira-kira terjemahan dua alinea pertama berita utama koran NRC Handelsblad itu:
“Tentara Belanda telah secara struktural dan dalam skala besar-besaran menerapkan kekerasan ekstrim terhadap orang Indonesia pada periode 1945-1950 setelah proklamasi kemerdekaan, 70 tahun silam Senin mendatang. Sesudah itu para pelakunya bebas berlenggang kangkung, karena pihak otoritas menutup-nutupi pelanggaran hukum itu.”
Sejak 1969, ketika terbit apa yang disebut Excessennota (Nota Ekses), pemerintah Belanda —waktu itu di bawah Perdana Menteri Piet de Jong— selalu berpendirian bahwa kekerasan yang terjadi selama perang kemerdekaan Indonesia merupakan ekses, bukan kebijakan resmi Den Haag. Tapi dengan penelitian untuk disertasi doktornya pada Universitas Bern di Swiss, sejarawan Rémy Limpach yang berdarah campuran Belanda Swiss itu berhasil membuktikan bahwa istilah dan kebijakan ekses tidak bisa dipertahankan lagi.
Obyek penelitian Limpach bukan melulu dokumen-dokumen resmi pemerintah, tetapi juga surat-surat yang dikirim oleh para prajurit Belanda dari Indonesia, termasuk buku harian mereka. Dari semua ini dia mendapati bahwa bukanlah para prajurit yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan ekstrim itu, seperti selama ini dianut pemerintah. Penyebab kekerasan yang berlebihan ini, demikian Limpach, terletak dalam struktur militer Belanda waktu itu. Selain juga para opsir alias perwira-perwira Belanda memang sengaja membiarkan saja anak buah mereka berbuat begitu.
Tak pelak lagi, kejutan Rémy Limpach, staf peneliti NIMH (singkatan bahasa Belanda untuk Institut Sejarah Militer Belanda) ini terkandung pada istilah “struktural” yang baginya merupakan watak operasi militer Belanda selama perang kemerdekaan dulu. Inilah pertama kali seorang peneliti menggunakan istilah yang begitu tegas.
Lalu mengapa pemerintah Perdana Menteri Piet de Jong menggunakan istilah “ekses”? Kepada harian NRC Handelsblad Rémy Limpach menyebut dua alasan. Pertama dalam rangka menimbulkan kesan bahwa kekerasan tidak terjadi dalam skala besar. Kedua, untuk menghindari satu masalah yang sangat peka di Belanda yaitu perbandingan antara kekerasan di Indonesia dengan kejahatan perang yang dilakukan Jerman tatkala menduduki Belanda selama Perang Dunia Kedua. Sebagai korban pendudukan Nazi selama Perang Dunia Kedua, jelas tidak mungkin Belanda harus dan bisa tampil sebagai pelaku yang menerapkan kekejaman Jerman di Indonesia, apalagi di wilayah yang waktu itu masih dianggap wilayah Belanda sendiri.
Kekerasan struktural atau hanya ekses?
Pada tahun 1969, sejarawan Cees Fasseur sebagai amtenar kementerian kehakiman ditugasi menyusun Excessennota, menyusul ribut-ribut pertama di Belanda soal masa lampau kolonialnya di Indonesia. Belanda heboh ketika Joop Hueting, yang pernah dikirim ke Indonesia sebagai prajurit, dalam sebuah wawancara televisi menyatakan telah terlibat dalam kejahatan perang. Hueting juga mengaku melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana rekan-rekan sesama prajurit melakukan kejahatan perang. Kontan Belanda heboh, kelompok veteran yang merasa terpojok tidak bisa menerima perngakuan Hueting ini.
Untuk menenangkan suasana, pemerintah menugasi Cees Fasseur meneliti 110 kasus kekerasan ekstrim yang muncul dalam arsip pemerintah. Dia memperoleh waktu empat bulan untuk menyelesaikan laporannya: Excessennota, yang menegaskan bahwa kekerasan itu cuma ekses belaka. Sekarang, sebagai pensiunan guru besar sejarah Universitas Leiden, Fasseur, juga kepada harian NRC Handelsblad, menyatakan bahwa pada tahun 1969 itu, istilah “kekerasan struktural” tidak bisa digunakan lantaran tidak mungkin secara politis. Maksudnya terlalu banyak kalangan yang menentang istilah itu, walaupun, masih menurut Fasseur, “siapa saja tahu tidak ada yang namanya perang bersih”. Dia menambahkan, ketika menyerahkan laporannya —laporan yang sudah disesuaikan dengan kehendak pemerintah— Fasseur menegaskan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Tetapi Komisi Kerajaan bagi Penulisan Sejarah Tanah Air, didukung oleh pemerintah Perdana Menteri Piet de Jong, demikian Fasseur, telah bertindak tidak tepat karena tidak menganggap ini masalah serius.
Dengan latar belakang seperti ini bisalah dimaklumi kalau harian NRC Handelsblad menyimpulkan bahwa istilah “ekses” sudah tidak bisa dipergunakan lagi terhadap kekerasan keji dan meluas yang dilakukan Belanda semasa perang kemerdekaan dulu. Runtuhlah butir pertama yang dituju pemerintah Belanda dengan menggunakan istilah “ekses”. Ekses itu tidak pernah ada, yang ada justru kekerasan struktural. Bagaimana dengan butir kedua, supaya tidak dilakukan perbandingan antara kekerasan Belanda di Indonesia dengan kejahatan Jerman di Belanda?
Mengenai butir ini koran NRC Handelsblad datang dengan contoh menarik, dimuat dalam laporan khusus tentang kemerdekaan Indonesia, pada edisi akhir pekan 15 dan 16 Agustus 2015.
Pada suatu hari Ahad di sebuah kota di Jawa pada tahun 1948, kendaraan militer Belanda yang membawa prajurit ke gereja untuk menghadiri kebaktian ditembaki. Seorang prajurit Belanda tertembak di kepalanya, dia tewas seketika. Apa yang kemudian terjadi dituturkan oleh Louis Sinner dalam sebuah kesaksian yang sekarang disimpan di Nationaal Archief, Den Haag. Berikut kira-kira terjemahannya:
Komandan satuan itu, Mayor Van de Leede, meraih peta dan jangka. Menusukkan jangka pada peta, ia lalu menarik lingkaran pada koordinat insiden penembakan. Dalam sekejap tiga satuan yang berada di bawah komandonya menyulap semua yang ada dalam lingkaran itu menjadi Sodom dan Gomorah. Apa yang terjadi di sana melulu balas dendam, dan lebih mengerikan dari yang terjadi di Putten. Demikian kesaksian prajurit Louis Sinner.
Kekejaman tentara Jerman ditiru Belanda di Indonesia?
Putten adalah sebuah kota di provinsi Gelderland, Belanda timur, yang pada Oktober 1944 menjadi pentas aksi pasukan pendudukan Jerman. Mereka melancarkannya sebagai balas dendam terhadap ulah kalangan perlawanan yang menewaskan seorang pasukan Jerman, sementara seorang anggota perlawanan Belanda juga tewas. Akibatnya 700 orang pria dan pemuda warga kota kecil Putten ditangkap dan dideportasi ke pelbagai kamp konsentrasi. Di akhir perang 500 orang tidak kembali, mereka tewas di kamp-kamp itu.
NRC Handelsblad mencatat, bukan kebetulan kalau Louis Sinner mengambil contoh Putten. Memang, selain menunjukkan aksi balas dendam yang mirip, dengan menyebut Putten Louis Sinner sudah mengkaitkan kekejaman Jerman di negerinya dengan kekejaman prajurit Belanda di Indonesia. Pada edisi akhir pekannya koran sore terbitan Amsterdam ini masih mengungkap satu contoh lagi.
Sewaktu melakukan penelitian, Rémy Limpach menemukan sepucuk surat yang dikirim oleh seorang prajurit Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Belanda) yang bertugas di Indonesia kepada istrinya di Belanda. Pada surat itu tertera kalimat-kalimat berikut: “Di sini ada dinas telik sandi yang menangkapi orang-orang yang dicurigai melakukan mata-mata atau perlawanan. Memang ini biasa, tapi ketika ditangkap mereka dipaksa menyebut siapa teman-teman mereka, jadi harus mengkhianati teman sendiri. Itu persis seperti yang pernah terjadi di kampung halaman pada zaman moffen (makian kasar orang Belanda terhadap Jerman) dan SD (Sicherheidsdienst, dinas rahasia Nazi)”.
Lagi-lagi satu contoh yang mengkaitkan ulah Nazi Jerman di Belanda dengan ulah prajurit Belanda di Indonesia. Padahal selama ini keduanya selalu dianggap terpisah. Para pejabat, veteran, maupun Indiëgangers yaitu orang Belanda yang pernah dikirim ke Indonesia semasa perang kemerdekaan, selalu berbicara terpisah tentang pendudukan Jerman dan perang kemerdekaan Indonesia yang disebut sebagai Politionele Actie, aksi polisi. Dengan lantang orang Belanda menyebut Jerman telah melakukan bezetting (pendudukan) negerinya selama Perang Dunia Kedua, tapi kata bezetting itu tidak pernah mereka gunakan untuk menyebut ulah mereka di Indonesia. Tak pelak lagi, itu memang dampak keputusan Perdana Menteri Piet de Jong tahun 1969 yang tahu dan mau memisahkan Belanda sebagai korban pendudukan Nazi-Jerman dengan Belanda sebagai pelaku pelbagai kekejaman di Indonesia, semasa perang kemerdekaan.
Tapi sekarang terbukti bahwa pembedaan serta pemisahan itu tidak perlu dan tidak benar, karena dulu prajurit Belanda sendiri sudah menyatukannya, seperti tertera pada surat-surat yang mereka kirim dari Indonesia. Mungkin semula itu cuma langkah cepat dan mudah saja supaya dengan gampang bisa menyebut sesuatu yang tengah dialami sehingga mudah dipahami oleh handai taulan di kampung halaman yang juga baru bebas dari pendudukan Jerman. Tapi mungkin juga ada yang punya maksud lebih dari itu. Barangkali ada yang ingin mendesahkan suara hatinya bahwa setelah menjadi korban selama lima tahun pendudukan Jerman, dengan cepat Belanda telah beralih menjadi pelaku kekejaman yang tidak kalah kejinya di Indonesia. Bisa jadi itu keluhan orang yang merasa terusik dan tidak nyaman atas pergeseran diri dari korban menjadi pelaku, apalagi dalam tempo yang begitu singkat, karena Belanda bebas dari pendudukan Jerman pada musim semi 1945, setahun kemudian, Maret 1946 sudah datang pasukannya di Indonesia.
Pergeseran korban menjadi pelaku
Tema pergeseran korban menjadi pelaku ini tampaknya memang universal, berlaku di mana-mana, walaupun terkandung dalam konteks dan zaman yang berbeda. Bisakah tema ini diterapkan pada Indonesia, pada diri kita sendiri? Bukankah Indonesia punya kasus Timor Timur yang banyak miripnya?
Dalam hal ini mendiang Onghokham sudah memperingatkan: Indonesia adalah negara AA (Asia Afrika, bekas jajahan) pertama yang harus melakukan dekolonisasi, yaitu ketika Timor Leste akhirnya merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Di sini terlihat betapa sejarawan Onghokham dengan jeli menyatakan Indonesia telah meniru Belanda, bekas induk semang kolonialnya. Di atas semuanya ini juga berarti bahwa Indonesia telah memperlakukan Timor Leste sama seperti Belanda dulu memperlakukannya. Dari korban kekejaman, Indonesia telah beralih menjadi pelaku kekejaman itu sendiri.
Betapa tidak? Sepintas saja sudah terlihat sejumlah persamaan antara Indonesia dengan Belanda. Belanda memiliki beberapa erebegraafplaats (semacam makam pahlawan) di Indonesia, misalnya di Menteng Pulo Jakarta dan di Kembang Kuning Surabaya. Indonesia punya makam pahlawan Seroja di Dili. Yang lebih penting lagi, di Timor Leste upacara kemerdekaan berlangsung setiap tanggal 28 November, karena pada tanggal 28 November 1975, Francisco Xavier do Amaral atas nama Comite Central FRETILIN memproklamasikan kemerdekaan Republik Demokratik Timor Leste. Tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari Restauração da Independencia alias Pemulihan Kemerdekaan dari pendudukan Indonesia (terima kasih kepada Nugroho Katjasungkana untuk butir ini, JW). Bukankah ini persis sama dengan Belanda yang menganggap Indonesia baru merdeka tanggal 27 Desember 1949, ketika berlangsung penyerahan kedaulatan di Amsterdam? Padahal kita memperingati proklamasi kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus.
Seorang kenalan yang rajin menekuni sejarah kotanya, Surabaya, pada zaman perang kemerdekaan (jadi pengetahuan sejarahnya di atas rata-rata khalayak umum) tidak setuju dengan persamaan ini. Tema pergeseran korban menjadi pelaku ini menurutnya sangatlah tidak relevan untuk kita. Ia menyebut satu aspek saja: peta geografis antara kedua perang ini sudah sangat jauh beda. Entah apa yang dimaksudnya dengan peta geografis. Yang jelas berdasarkan posisi geografis itu tidak ada satu negarapun yang persis sama dengan negara lain. Walau begitu dia mengaku “tidak bisa bicara banyak mengenai perang Timor bukan karena tidak mau membuka kesalahan bangsa saya, tapi semata karena saya tidak melakukan penelitian mendalam mengenai perang Timor dan saya tidak ingin ceroboh”.
Jelas kenalan ini produk Orde Baru yang tidak pernah mengakui pemprovinsian Timor Timur sebagai penjajahan. Dan dia tidak sendirian, masih banyak orang Indonesia, terlalu banyak bahkan, yang berpendirian sama, bahkan lebih fanatik lagi. Misalnya kalangan yang berpendapat bahwa Timor Timur itu sudah berintegrasi dengan Indonesia, persis seperti dikhotbahkan Orde Baru. Tanpa bertanya apakah yang disebutnya integrasi Timor Portugis (nama awal Timor Timur) sudah sesuai dengan konstitusi, mereka malah menuduh keputusan B.J. Habibie mengadakan referendum di sana tidak konstitusional.
Maka terlihat jelas persamaannya dengan publik Belanda yang selalu membedakan pendudukan Jerman atas negeri mereka dengan ulah prajurit Belanda di Indonesia. Tema pergeseran korban menjadi pelaku, tak pelak lagi, jelas juga berlaku bagi kita. Dari korban penjajahan dan kekejaman kolonial Belanda, di Timor Timur kita telah berubah menjadi pelaku perbuatan yang tidak berbeda, bahkan sama kejinya.
*Joss Wibisono adalah peneliti dan penulis lepas yang menetap di Amsterdam. Mantan redaktur senior Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum. Menulis buku Saling Silang Indonesia-Eropa (Marjin Kiri, 2012). Simak blognya https://gatholotjo.wordpress.com/