050711 Niederlande Schadenersatz
5 Juli 2011Juli 1995, pasukan Serbia membunuh sekitar 8000 orang di kota Srebrenica, Bosnia, walau pun daerah itu dinyatakan sebagai zona perlindungan PBB. Zona tersebut berada di bawah pengawasan pasukan Belanda. Namun serdadu Belanda yang tergabung dalam pasukan helm biru itu mundur karena meningkatnya kekuatan pasukan Serbia. Warga Bosnia yang seharusnya dilindungi ditinggalkan begitu saja. Sejak 16 tahun terakhir keluarga korban tewas berusaha membawa kasus ini ke pengadilan, menuntut pertanggungjawaban PBB dan Belanda.
"Karena kedua institusi, PBB dan negara Belanda, tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut mandat penugasan, yaitu melindungi penduduk sipil," kata pengacara Axel Hagedorn.
Ia mewakili para ibu Srebrenica. Selama ini tuntutan mereka selalu ditolak. Belanda selalu berargumen, serdadunya berada di bawah komando PBB, jadi Belanda tidak dapat diminta bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Srebrenica. Namun pengadilan banding di Den Haag menyatakan hal sebaliknya.
"Suatu negara yang menyediakan serdadunya untuk PBB dan berada di bawah komandonya, bisa saja terkena pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan pasukannya di negara mereka ditugaskan sebagai pasukan perdamaian," tutur pengacara Lisbeth Zegveld, yang mewakili keluarga tiga pria yang terbunuh di Srebrenica tahun 1995.
Belanda kini harus membayar ganti rugi dalam jumlah yang masih belum disebutkan. Misalnya kepada Hasan Nuhanovic. Dulu ia bekerja sebagai penerjemah pasukan Belanda. Tapi tetap saja abang dan ayahnya terbunuh dalam peristiwa pembantaian. Kini ia mengatakan pada radio Belanda, "Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan, sungguh. Saya justru mempersiapkan jika hasilnya negatif. Saya tidak bersiap untuk menghadapi hasil positif."
Keputusan pengadilan banding berlaku untuk tiga kasus khusus. Kini keluarga dari ribuan korban pembantaian berharap, tuntutannya sekarang bisa membuahkan hasil. Pengacara Axel Hagedorn juga menantikan langkah simbolis penting.
"Baik PBB mau pun Belanda yang bersalah atas apa yang terjadi, tidak pernah sekali pun mengucapkan kata ‘maaf', juga setelah 16 tahun. Itu menyakitkan," tegas Hagedorn.
Andreas Reuter/Luky Setyarini
Editor: Dyan Kostermans