Benarkah Intelijen Pakistan Danai Radikalisasi Rohingya?
14 Februari 2020Sabtu (08/02) lalu, di hutan berbukit dekat kamp pengungsi Rohingya di distrik Cox's Bazar, Bangladesh, pasukan polisi terlibat baku tembak dengan geng kriminal. Sumber-sumber berita setempat melaporkan bahwa polisi berupaya menyelamatkan tiga orang Rohingya yang diculik dan ditahan dengan permintaan uang tebusan. Pada awal minggu itu juga terjadi bentrokan antara dua kelompok bersenjata di kamp dan melukai 14 pengungsi Rohingya.
"Ada dua kelompok," Mohammad Kashem, salah satu korban luka mengatakan kepada DW. "Mereka saling serang dan saya tertembak."
Ini bukan satu-satunya tindak kriminal yang terjadi di kamp pengungsian Rohingya. Kelompok-kelompok kriminal sering terlibat dalam konfrontasi di dalam kamp dan dengan polisi. Setidaknya 195 pengungsi Rohingya terbunuh dalam satu tahun terakhir.
Inspektur polisi di Cox's Bazar, Masud Hossain, mengatakan kepada DW bahwa tindakan kriminal seperti itu tidak bisa dihindari mengingat padatnya jumlah Rohingya yang tinggal di kamp.
"Jika ratusan ribu orang tinggal di tempat seperti ini, selalu ada risiko kejahatan," ujar Hossain.
Kekhawatiran tentang adanya campur tangan pihak luar dalam memengaruhi pengungsi Rohingya juga muncul. "Sejak mereka (pengungsi Rohingya) datang, perdagangan senjata dan narkoba juga meningkat," ujar Kepala Polisi Komunitas Cox's Bazar Tofael Ahmed kepada DW.
"Banyak yang menuduh beberapa kelompok telah memicu kerusuhan di kamp-kamp. Itu cara mereka menghalangi proses repatriasi."
Laporan adanya pengaruh Pakistan
Telah lama beredar teori bahwa ada kekuatan eksternal yang berusaha mengail di perairan keruh ini dan menyebarkan sentimen ekstremis. Laporan terbaru oleh sebuah surat kabar India menunjukkan kemungkinan keterlibatan intelijen Pakistan dalam beberapa insiden.
Laporan Times of India pada bulan Januari mengklaim bahwa agen-agen dinas intelijen India telah mengeluarkan peringatan baru kepada angkatan bersenjata dan penjaga perbatasan negara itu bahwa Intelijen Pakistan (ISI) terlibat dalam memberikan pelatihan kepada 40 orang Rohingya di Cox's Bazar.
Pelatihan ini diberikan melalui Jamaat-ul Mujahidin Bangladesh (JMB) yang merupakan sebuah organisasi teroris Bangladesh, demikian tulis laporan itu. Juga dilaporkan bahwa ISI memberi JMB pembayaran angsuran pertama untuk pelatihan sebesar 10 juta taka (sekitar Rp 1,58 miliar) yang disalurkan melalui Arab Saudi dan Malaysia.
Lebih lanjut laporan itu mengatakan bahwa badan-badan intelijen India khawatir para teroris ini akan didorong masuk ke negara mereka dari Bangladesh. Kekhawatiran ini muncul setelah Pakistan gagal menahan mereka di garis kontrol antara Pakistan dan India di Jammu dan Kashmir, di mana perlindungan perbatasan telah diperketat.
Dalam perbincangan dengan DW, Siegfried O. Wolf, direktur penelitian dari South Asia Democratic Forum, lembaga pemikir yang berkantor di Brussels, menjelaskan mengapa potensi gangguan ISI ini sangat mungkin terjadi.
"Ada bukti jelas bahwa Pakistan, melalui ISI-nya bersama militer, telah memberikan perlindungan, pelatihan, perencanaan strategis, bantuan keuangan dan peralatan kepada kelompok-kelompok teroris dan pemberontak untuk mengacaukan negara-negara tetangga, terutama Afghanistan dan India," kata Wolf kepada DW.
"Kondisi para pengungsi Rohingya yang luar biasa memprihatinkan dan yang tidak memiliki kewarganegaraan di Bangladesh membuat mereka rentan terhadap langkah-langkah perekrutan Jihadis," kata Wolf.
Agenda geopolitik terselubung?
Pakar keamanan Bangladesh, Abdur Rashid, melihat adanya kemungkinan penjelasan lain atas laporan media tersebut. Rashid mengatakan kepada DW bahwa informasi semacam ini kadang-kadang digunakan untuk mendorong agenda geopolitik tertentu.
"Bukan berarti tidak ada upaya terselubung yang telah dilakukan untuk meradikalisasi warga Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan. Banyak yang mencoba dan gagal karena ketatnya pantauan badan-badan penegak hukum Bangladesh," kata Rashid.
"Jika India memiliki laporan intelijen spesifik, mereka harus memberi tahu rekan di Bangladesh sehingga potensi ancaman dapat diselesaikan."
Rashid yang juga adalah mantan jenderal angkatan darat dan direktur eksekutif Institut Studi Konflik, Hukum & Pembangunan di Dhaka, menambahkan bahwa Bangladesh sejauh ini sangat membantu India dalam menghadapi masalah keamanan di wilayah timur laut negara itu.
"Pakistan mungkin telah memberikan dukungan kepada beberapa kelompok radikal untuk mengguncang stabilitas India, tetapi Bangladesh tidak pernah melakukannya," kata Rashid. "Jadi saya akan mengatakan bahwa informasi ini didasarkan pada dugaan atau mungkin untuk memajukan agenda geopolitik."
Bangladesh memang telah lama khawatir tentang kemungkinan adanya penyebaran ide-ide radikal di kalangan komunitas pengungsi Rohingya. Perdana Menteri Sheikh Hasina terus-menerus memperingatkan dunia bahwa jika ancaman semacam itu menyebar, hal ini tidak hanya akan membahayakan Bangladesh, tetapi juga seluruh wilayah di kawasan.
Menurut Menteri Negara Urusan Luar Negeri Bangladesh, Shahriar Alam, pemerintahnya memiliki kebijakan tanpa toleransi dalam menangani kasus semacam itu.
"PBB telah meneliti masalah ini. Beberapa negara yang memiliki kapasitas juga telah mencari adanya potensi bahaya ekstremis. Kenyataannya sampai sekarang, tidak ada tindakan (ekstremis) yang berhasil," ujar Alam kepada DW.
"Tetapi kami tidak menutup mata soal adanya potensi ancaman," tambahnya. "Semua badan intelijen dan penertiban hukum di bawah pemerintahan siap untuk menghentikan eksploitasi orang-orang ini (Rohingya) untuk kepentingan negara atau kelompok mana pun."
(ae/hp)