Bergabung dengan Sang Penculik
21 Mei 201315 tahun silam, Aan Rusdianto dijemput orang tak dikenal, dibawa dengan mata tertutup ke sebuah tempat. Diinterogasi tentang pandangan politik dan kawan-kawannya sesama aktivis PRD.
Selama dua hari, ia mengalami siksaan brutal.
“Itu adalah waktu penuh ketegangan dan siksaan. Dalam benak selalu muncul apa yang selanjutnya akan terjadi…. kedua kaki dan tangan diikat dengan borgol dan tali rafiah… Setrum, pukulan, todongan senjata laras panjang, memaksaku untuk menjawab pertanyaan… Apa aktivitas politik PRD setelah 27 Juli, apa keterlibatanku di PRD? Bahkan kemaluanku sempat disetrum beberapa kali…” testimoni Aan tentang penculikan yang ia alami pada Jumat malam, 13 Maret 1998.
Lima belas tahun kemudian, Aan mengambil keputusan mengejutkan. Ia memilih bergabung dalam barisan Prabowo Subianto, orang yang bertanggungjawab atas penculikan dan penyiksaan terhadap dirinya.
“Mungkin bagi beberapa orang bisa dikatakan menjual diri. Ya…nggak masalah…bagi saya nggak masalah…“ kata Aan kepada Deutsche Welle sambil menjelaskan bahwa sentralisme demokrasi ala Prabowo dan sikapnya yang anti neoliberalisme, dekat dengan garis perjuangan PRD. Dalam percakapan ini, Aan selalu menyebut dirinya dengan kami atau kita.
DW: Kenapa bergabung ke Gerindra?
Aan Rusdianto: Karena ada teman-teman di sana. Terus sekitar empat tahun lalu tertarik pada materi-materi yang disampaikan Prabowo Subianto saat kampanye dengan Megawati. Saat itu, dia menyampaikan banyak hal yang secara tematik berdekatan dengan program-program yang menjadi perjuangan kita dulu. Gagasan-gagasan tentang kemandirian bangsa, model pembangunan ekonomi di mana kita tidak bisa lagi menerima ide trickle down effect, juga soal anti neoliberalisme.
DW: Anda sepakat dengan gagasan ekonomi Prabowo. Bagaimana dengan politik, apakah anda melihat Prabowo punya visi yang sama dalam isu demokrasi. Apakah anda melihat ada demokrasi dalam Gerindra?
Aan Rusdianto: Unsur demokrasi memang kurang, tetapi dulu (semasa PRD-red) kita juga ada mekanisme yang namanya sentralisme demokrasi.
DW: Jadi anda melihat ada kesamaan dalam soal sentralisme demokrasi ketika anda dulu di PRD dengan yang anda lihat di Gerindra hari ini?
Aan Rusdianto: Saya setuju bahwa dalam menjalankan sistem politik saat ini tidak bisa terlalu liberal. Bahwa ada demokrasi itu penting, tetapi tidak lantas menjadi liberal. Dan kepemimpinan dalam satu tangan itu penting, tapi juga bukan berarti tidak ada mekanisme untuk mengkritik.
Aan kini menjadi pengurus Gerindra yang menangani isu pedesaan dan masuk dalam Daftar Calon Sementara untuk anggota DPR di pemilu 2014. Ia mengaku sudah bergeser dari kiri ke spektrum politik tengah. “Saya sekarang dalam posisi menerima Pancasila dan UUD...“
“Saya harus berdamai dengan masa lalu. Itu pilihan yang berat dan susah bung…“ kata Aan sambil menceritakan pengalamannya bertemu secara langsung dengan Prabowo Subianto.
DW: Kapan anda pertama kali bertemu Prabowo secara langsung?
Aan Rusdianto: Sekitar dua tahun lalu dalam acara Gerindra. Saat itu saya diperkenalkan secara langsung. Ya sekilas saja… saat itu saya diperkenalkan oleh teman. Ya… saya kan nggak terlalu diingat sama dia (Prabowo-red) …beda dengan (korban penculikan-red) yang lain…saya kan bukan tokoh populer… dia diberitahu teman saya… ini Aan Rusdianto, mantan korban penculikan …dia cuma melihat teman saya dan oh ya ya ya… kira-kira begitu saja sih…
DW: Sebagai korban penculikan bagaimana perasaan anda?
Aan Rusdianto: Secara psikologis saya bisa memahami… itu apa…bahwa ia sebagai pelaku penculikan…tapi di sisi lain saya harus mengorbankan perasaan bahwa saya sudah diperlakukan kejam. Tapi satu sisi itu oke pernah terjadi pada masa lalu saya. Saya berkompromi dengan masa lalu…
DW: Ketika bersalaman dengan Prabowo apakah masih terbayang saat-saat dulu diculik dan disiksa?
Aan Rusdianto: Ya tentu, tentu... Itu pilihan yang berat dan susah juga bung…
DW: Apakah anda tidak merasa bersalah dan berhutang pada kawan-kawan anda yang masih hilang seperti Wiji Thukul?
Aan Rusdianto: Tentu saya merasa berhutang. Mungkin bagi beberapa orang dikatakan naif atau bisa dikatakan menjual diri. Ya…nggak masalah…
Aan Rusdianto, aktivis PRD dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), korban penculikan `98. Kini menjadi pengurus dan calon anggota parlemen dari Gerindra.