Bergunakah Penjatuhan Sanksi Baru Bagi Suriah?
15 November 2011Sanksi bukan hal yang asing bagi Suriah. Di tahun 1979, senat Amerika Serikat menyatakan rezim yang saat itu dipimpin oleh ayah Bashar al Assad, Hafiz, sebagai negara yang mendukung terorisme internasional. Paket sanksi pertama yang dijatuhkan kepada Suriah. Sanksi terberat diperoleh Suriah delapan tahun yang lalu, karena Bashar al Assad dianggap mendukung gerakan bawah tanah di Irak. Amerika Serikat kemudian melarang investasi Amerika di Suriah dan menghentikan ekspor bagi semua produk Amerika Serikat yang hendak disuplai ke Damaskus, Aleppo atau Homs.
Sudah banyak sanksi yang dijatuhkan bagi Suriah tetapi hampir tidak ada dampaknya. Begitu juga tekanan dari rakyatnya sendiri belum membuahkan hasil. Baru-baru ini menteri luar negeri Suriah Walid Mualim mengatakan, "Suriah bukan Libya. Skenario Libya tidak akan terulang kembali. Apa yang terjadi di Libya berbeda dengan yang terjadi di Suriah. Warga Suriah tidak perlu khawatir."
Sejauh ini sepertinya rezim di Suriah selalu berhasil mengatasi masalah yang ada. Keterbatasan akibat sanksi, tidak membungkam negara itu. Para pedagang Suriah misalnya, melakukan bisnis mereka lewat Libanon. Dalam setiap krisis yang lebih besar, uang mereka alihkan melalui negara tetangga yang lebih kecil itu. Jalur penyelundupan antar kedua negara selalu terbuka. Juga setelah militer Suriah ditarik mundur dari Libanon, setelah serangan terhadap mantan kepala pemerintahan Libanon Rafik Hariri di tahun 2005.
Pimpinan di Damaskus kerap menjawab tekanan dari negara barat dengan menunjukkan hubungan baik dengan sekutu dari timur. Rusia tetap dianggap sebagai mitra yang bisa diandalkan, jika berhadapan dengan tantangan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. Mitra baru dalam beberapa tahun terakhir adalah Cina. Suriah menjaga hubungan bisnis ini. Kembali menteri Suriah Walid Mualim, "Menurut saya, pendapat Rusia dan Cina tidak berubah. Dan rakyat kami menyambutnya. Kami kerap berhubungan dan bertemu."
Optimisme pemerintah Suriah bisa segera berubah. Selasa (15/11) dimulai larangan impor minyak Suriah di seluruh Uni Eropa. Terakhir, Suriah menjual 90 persen minyaknya ke negara-negara Uni Eropa. Senin (14/11), para menteri luar negeri Uni Eropa memutuskan untuk membekukan sementara pengucuran pinjaman bank investasi Eropa. Begitu juga kontrak dukungan teknis berbagai proyek dibekukan. Sanksi Amerika Serikat, Uni Eropa, dan diskors dari keanggotaan Liga Arab mulai membuat khawatir para pelaku bisnis di Suriah.
Sanksi terdahulu diterima banyak warga Suriah, karena dijatuhkan akibat politik luar negeri Suriah. Namun, sanksi kali ini berkaitan dengan politik dalam negeri pimpinan Suriah. Memang sebagian besar warga Suriah bukan pejuang revolusi. Mungkin kebanyakan bahkan tidak mendukung gerakan protes. Tetapi, tidak ada warga yang menginginkan pertumpahan darah di negaranya sendiri.
Björn Blaschke / Vidi Legowo-Zipperer
Editor : Agus Setiawan