Berlin-Jakarta Perkuat Hubungan Melalui Startup
20 Mei 2019Dalam Asia-Pacific Week Berlin di bulan Mei, beberapa perusahaan startup Indonesia seperti penyedia pelayanan kesehatan MOI dan produsen kemasan ramah lingkungan Evoware dan Go-Jek yang sudah menjadi unicorn, datang untuk menceritakan perjalanan usaha mereka. Badan Ekonomi Kreatif Indonesia serta pemerintah kota Jakarta juga berbicara tentang inovasi yang dilakukan untuk membangun Jakarta sebagai kota modern. Sebagai salah satu pasar ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan persentasi besar penduduk berusia muda, citra Indonesia sedang berubah di mata mitra-mitra ekonomi dunia.
Dalam Acara dialog Asia-Eropa ini, DW berbincang-bincang dengan Rainer Seider (foto artikel), kepala bagian kerjasama internasional di kementerian perekonomian negara bagian Berlin. Sebagai salah satu inisiator Asia Pacific Week, fokus kerja Rainer Seider antara lain memupuk kerjasama antara komunitas startup Jakarta dan Berlin, yang tahun ini merayakan 25 tahun kemitraan kota.
DW: Apa yang istimewa dari ekosistem startup di Indonesia?
Rainer Seider: Ini adalah ekosistem startup yang masih sangat muda dan masih berkembang. Ekosistem ini memang ditandai oleh empat unicorn, yaitu startup dengan nilai lebih dari 1 milyar dolar AS, karena itu Indonesia sangat penting di wilayah Asia Tenggara. Yang menurut saya juga istimewa adalah besarnya negara ini, sehingga ada berbagai masalah logistik, lalu juga adanya perdagangan online tetapi budaya memakai uang tunai yang masih kuat. Ini semua membawa tantangan.
Dari sisi Berlin juga menarik, bahwa ada hubungan Jerman-Indonesia, yang relevan. Seperti Ilham Habibie yang lahir dan tumbuh besar di Jerman dan sekarang ada di Indonesia dan aktif di kamar dagang Indonesia dan di bidang teknologi. Dari perusahaan Rocket Internet yang sekarang dijual kepada Alibaba juga ada beberapa manajer tingkat tingginya yang tetap tinggal di Indonesia dan membangun perusahaan sendiri. Konteks Indonesia-Jerman yang semakin berkembang ini menarik bagi kami. Memang Indonesia masih dianggap jauh di belakang Cina dan India. Tetapi sekarang perlu dilakukan sesuatu untuk menciptakan kesadaran, apa yang bisa kami lakukan di Indonesia, apa yang sebaiknya tidak dilakukan di Indonesia?
Kemitraan dengan Berlin juga ingin memupuk konsep "Smart City”. Apa yang dibutuhkan Jakarta dalam bidang ini?
Menurut saya menarik untuk menawarkan pemecahan masalah yang cerdas bagi sebuah kota. Misalnya masalah lalu lintas adalah masalah besar di Jakarta, lalu masalah sampah dan air. Apa yang dilakukan pemerintah kota untuk warganya, apa yang bisa dilakukan secara online, untuk hal apa warga memang harus datang dan mengantri. Lalu ada juga isu pasokan listrik, air, energi terbarukan dan efisiensi energi.
Dari perspektif luar, menurut saya tema terpenting adalah masalah lalu lintas. Lalu tentu saja tema lingkungan hidup. Ada begitu banyak sampah di Jakarta, sampah plastik di sungai-sungai. Ini adalah tema penting dan berhubungan dengan kualitas air. Di Asia banyak orang minum dari air di botol, yang botolnya akhirnya jadi sampah. Jika air ledeng bisa diminum, maka akan ada lebih sedikit sampah.
Yang menurut saya juga bagus adalah kerjasama real time dengan pemerintah kota, dimana warga bsia memberikan informasi tentang suatu masalah, seperti toilet umum yang harus dibersihkan. Mereka bisa memotretnya, mengunggah fotonya, lalu tugas diberikan kepada pemerintah kota.
Apakah ada contoh-contoh dari Berlin yang bisa diaplikasikan di Jakarta?
Tema-tema terpenting di Jakarta sangat berbeda dengan tema-tema disini. Tetapi ada potensi untuk bekerja sama. Saya juga tertarik dengan kemungkinan kerja sama antara Go-Jek dengan startup-startup Berlin. Berlin dan Jerman secara umum sangat berorientasi hightech dan ini bukan yang dibutuhkan di Jakarta, karena semakin tinggi penggunaan teknologinya, semakin mahal juga produknya. Saya kira, bagi banyak pengusaha Jerman, penting untuk memotong hal-hal yang membuat mahal.
Yang menurut saya menarik adalah jenis pertanian yang di Berlin dilakukan oleh beberapa startup di gudang-gudang atau di rumah-rumah sendiri untuk menumbuhkan salad atau sayur-sayuran tanpa sinar matahari langsung. Sudah ada beberapa contohnya di Berlin.
Tema menarik lainnya adalah energi yang terbarukan, terutama energi matahari di perkotaan. Masalah yang ada di Jakarta bukan untuk memanaskan rumah seperti di sini, melainkan untuk mendinginkan. Dan di bidang itu ada masalah efisiensi. Kebanyakan rumah di Indonesia masih terisolasi dengan buruk, sehingga udara dingin dari AC keluar. Artinya untuk mendinginkan rumah, dibutuhkan begitu banyak energi listrik. Bidang ini masih bisa diperbaiki. Listrik juga bisa dihasilkan dengan penggunaan panel-panel solar di atap rumah.
Apakah ada ide-ide dari Indonesia yang bisa bermanfaat untuk Berlin?
Dalam Asia Pacific Week kali ini kami mendengar tentang startup Indonesia yang bisa membuat kulit dari sampah dan jamur. Menurut saya itu menarik sekali karena itu termasuk tema ekologi. Produksi gelas dari bahan-bahan alami juga menurut saya sangat bagus, karena gelas plastik merupakan tema yang sangat penting di Berlin. Mungkin tidak dari rumput laut untuk Berlin, tetapi bahwa gelas sekali pakai bisa dibuat dari bahan-bahan yang bisa didaur ulang adalah penting sekali.
Bagi kami juga penting sekali, bahwa produk-produk yang dihasilkan adalah dari perdagangan yang adil, bahwa produsen barang-barang ini membayar pegawainya dengan baik dan juga tidak mempekerjakan anak-anak.
Ini juga merupakan ciri khas banyak startup di Indonesia dan Asia Tenggara, bahwa mereka berurusan dengan tema-tema sosial, karena tema-tema yang dihadapi di sana berhubungan dengan lingkungan, sistem sosial dan kemiskinan. Startup mencari pemecahan masalah untuk menghasilkan uang. Dan masalah-masalah yang ada di Indonesia 80% adalah masalah yang dihadapi negara berkembang. Jika startup-startup ini kami dukung, jika pasar di Berlin dibuka untuk mereka, maka ini menarik baik secara ekonomi, maupun dalam bidang pembangunan.
Wawancara untuk DW dilakukan oleh Anggatira Gollmer. (hp)