Bertahan di Ukraina
2 April 2022Pepi Aprianti Utami sudah tinggal selama satu dekade di Ukraina. Inilah pertimbangannya untuk tetap bertahan tak meninggalkan negara itu, di tengah serangan Rusia. "Saya punya keluarga di sini, teman dan juga pekerjaan. Jadi itu salah satu pertimbangannya."
Rasa khawatir selalu menghantui sejak invasi dilancarkan Rusia akhir Februari lalu. Bersama keluarganya, perempuan asal Indonesia ini mengungsi dari rumahnya di Kyiv ke wilayah lain yang dianggap lebih aman: "Rumah saya kebetulan ada di Kyiv, di pusat kota, sentralnya Ukraina. Jadi di sana itu seperti pintu gerbangnya. Kalau saat negara Rusia masuk ke Ukraina lewat utara itu, rumah saya itu ada di sana. Jadi makanya itu, saya memutuskan untuk relokasi segera."
Pepi untuk sementara waktu berada di sebuah kota bagian barat Ukraina yang sementara waktu bisa dikatakan relatif aman dari serangan invasi Rusia. "Untuk sekarang, di situasi sekarang, rencana saya masih akan tinggal di sini, hingga invasi Rusia selesai. Itupun kalau misalkan menjadi tambah parah ya, saya ada rencana lain juga untuk relokasi lagi ke tempat yang lebih aman,” papar Pepi. "Untuk merencanakan apa yang akan aku rencanakan itu susah sekali untuk di situasi perang ini karena kondisi selalu berubah-ubah setiap hari. Tentu saja setiap hari, saya merasa cemas dan takut.” Namun di balik keresahannya, Pepi optimistis situasi tak menentu ini akan segera berakhir.
Sedih membaca komentar di media sosial
"Teman dan kerabat di lingkungan sekitar saya, orang-orang yang saya hormati, mereka mengutuk invasi Rusia di Ukraina ini. Mereka berharap dan mendoakan supaya segera selesai perang ini,” kata Pepi.
Namun menurutnya, ada saja segelintir pengguna media sosial yang seolah-olah merayakan dan senang dengan agresi militer yang dilakukan Rusia di Ukraina. "Dan itu membuat saya sedih ya, karena di Ukraina sendiri sudah banyak korban berjatuhan. Anak-anak, perempuan, orang lanjut usia, itu mereka menjadi korban yang tidak bersalah, begitu. Karena tentara Rusia, mereka menyerang bukan hanya bangunan militer, tetapi juga bangunan rakyat sipil, sekolah, rumah sakit. Dan itu sangat sangat-sangat membuat saya sedih, melihat banyaknya komentar yang merayakan, begitu. Itu sangat, sangat tidak manusiawi," tandasnya.
Pepi berharap Indonesia, seperti negara-negara berdaulat yang lainnya di dunia, ikut mengutuk invasi Rusia.”Saya berharap lebih banyak suara dari masyarakat Indonesia untuk menyuarakan perdamaian. Hentikan perang! Hentikan penjajahan! Karena itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 kita," ujar Pepi. Ia pun berharap, semoga masyarakat Indonesia lebih terbuka untuk melihat situasi yang sebenarnya di Ukraina, dan ikut berkontribusi menciptakan perdamaian.
Ragam komentar
Di Bandung, Suryadi kerap memainkan jemari-jemarinya di media sosial untuk mendukung Rusia. Menurutnya, Rusia adalah negara yang tegas terhadap dominasi Barat. Namun Suryadi tak begitu mengenal Ukraina, dan mengaku tidak tahu akar masalah invasi tersebut.”Ya karena Presiden Rusia, Vladimir Putin berani ya menentang NATO yang tak berbuat sesuatu bagi rakyat Palestina,” paparnya. "Saya tidak tahu soal Ukraina, itu kan harusnya masih bergabung dengan Uni Soviet, ya, tapi memisahkan diri,” ungkapnya ketika dihubungi DW lewat media sosial. Ia meminta agar nama aslinya tidak disebutkan.
Sementara pengguna media sosial lainnya, Anna Suwandi menyebutkan beberapa pengguna media sosial yang sering menulis dukungan terhadap Rusia itu adalah karena ketidaktahuannya dan hanya sekadar mengungkapkan kebenciannya pada Amerika Serikat dan NATO. "Mereka mengabaikan rasa kemanusiaan, nasib orang-orang yang menderita akibat serangan ini." Ia pun berharap Rusia segera menghentikan serangannya.