1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

India Memiliki Vaksin Bulan Agustus?

9 Juli 2020

Badan kesehatan India mengharuskan negara itu memiliki vaksin corona yang siap pakai saat perayaan Hari Kemerdekaan pada 15 Agustus mendatang. Para ahli menyebut rencana itu tidak realistis dan berbahaya.

https://p.dw.com/p/3f14A
Symbolbild Masern-Impfung
Foto: picture-alliance/dpa/K.-J. Hildenbrand

Pekan lalu, Direktur Dewan Penelitian Medis India (ICMR), Balram Bhargava, memerintahkan 12 rumah sakit untuk memulai uji klinis kandidat vaksin virus COVID-19, yang disebut Covaxin, dengan tujuan menyiapkannya untuk digunakan secara umum pada 15 Agustus.

Namun para pakar India telah menekankan bahwa rentang waktu yang sangat pendek tidak mungkin mewujudkan rencana itu, karena pengembangan vaksin umumnya berlangsung selama beberapa tahun.

Vaksin yang disebut-sebut, Covaxin tengah dikembangkan oleh Bharat Biotech, sebuah perusahaan farmasi yang berbasis di Hyderabad, dan bekerjasama dengan National Institute of Virology, sebuah laboratorium ICMR.

Fase pertama dari uji klinis yang akan dimulai minggu ini akan melibatkan sekitar 300 orang, dan dalam fase berikutnya akan ditambah 700 orang lagi.

"Bharat Biotech bekerja dengan cepat untuk memenuhi target. Namun, hasil akhir akan tergantung pada kerja sama semua situs uji klinis yang terlibat," kata Bhargava dalam sebuah surat.

Bharat Biotech telah menghasilkan milyaran dosis vaksin untuk melawan infeksi termasuk rotavirus dan hepatitis. Pada 2015, pabrik itu memproduksi vaksin rotavirus pertama buatan India dengan harga $ 1 atau sekitar Rp 14.000 per dosis, yang sekarang menjadi bagian dari program imunisasi Organisasi Kesehatan Dunia.

Bekerja siang dan malam 

"Kita semua bekerja siang dan malam untuk memenuhi target," kata Prabhakar Reddy, seorang profesor di Institut Ilmu Kedokteran Nizam, salah satu lembaga yang dipilih untuk uji coba.

Target rilis yang ditetapkan oleh ICMR untuk Covaxin dikritik oleh para ahli dan ilmuwan karena dilakukan dalam waktu dekat dan terburu-buru.

Para ahli berpendapat rentang waktu satu tahun tidak cukup untuk menyelesaikan tiga fase uji klinis, studi efikasi, profil efek samping, dan analisis antibodi.

Lembaga ilmiah terkemuka India, Akademi Ilmu Pengetahuan India, dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa jadwal ICMR telah membangkitkan harapan yang tidak realistis bagi masyarakat India.

"Akademi yakin bahwa solusi tergesa-gesa yang akan mengkompromikan proses dan standar ilmiah yang ketat kemungkinan akan memiliki dampak buruk jangka panjang bagi warga India," kata Presiden Akademi, Partha Majumder, dalam sebuah pernyataan.

Anant Bhan, seorang peneliti di bidang bioetika dan kesehatan global, mengatakan kepada DW bahwa merekrut peserta uji coba dapat memakan waktu berbulan-bulan.

"Bahkan dengan waktu yang dipersingkat ini tetap terburu-buru, sehingga ada potensi risiko, bahwa proses pembuatannya kurang diperhatikan," katanya.

Kepentingan politik di atas kesehatan masyarakat?

Beberapa ahli menafsirkan, pendiktean ICMR adalah taktik politik Perdana Menteri Narendra Modi untuk mendulang suara dengan mengumumkan vaksin virus corona saat pidato Hari Kemerdekaan India pada 15 Agustusnanti.

"Mengapa ICMR memaksakan waktu yang tidak realistis pada 15 Agustus ketika para pakar global memberikan kerangka waktu 12 hingga 18 bulan?" kata Ketua Partai Kongres Oposisi, Pritbhviraj Chavan.

Menyusul kemarahan publik, ICMR berusaha untuk mengalah dan mengklarifikasi pernyataannya dan mengatakan bahwa tanggal 15 Agustus "bukan batas waktu" dan hanya upaya untuk memotong "birokrasi", bukan upaya untuk berkompromi pada uji coba vaksin.

Perlombaan menciptakan vaksin

Beberapa negara sedang berlomba untuk mengembangkan dan memproduksi secara massal vaksin yang efektif melawan SARS-CoV-2.

Ada lebih dari 100 kandidat vaksin dalam pengembangan pra-klinis oleh perusahaan farmasi, lembaga akademik, lembaga pemerintah, dan lainnya.

Menurut WHO, per 7 Juli 2020, ada 17 kandidat vaksin yang menjalani uji klinis di beberapa negara. Meskipun pemerintah sudah memesan miliaran dosis, dalam beberapa bulan ke depan, tidak ada vaksin yang diperkirakan akan bisa disetujui untuk digunakan. (ha/ml)